BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam hadir di muka bumi menawarkan sistem social yang adil dan
bermartabat. Salah satu sistem yang ditawarkan Islam adalah sistem
perpekerjaan, yang di dalamnya mencakup di antaranya hubungan majikan – pekerja
dan pengupahan.
Islam memiliki prinsip-prinsip yang memandu dalam hubungan
perpekerjaan ini, antara lain prinsip; kesetaraan (musâwah) dan
keadilan (‘adâlah). Prinsip kesetaraan menempatkan majikan dan pekerja
pada kedudukan yang sama atau setara, yaitu sama-sama sebagai pihak yang
langsung membutuhan dan menyerahkan apa yang dimiliki baik dalam bentuk tenaga
maupun upah. Pada saat menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan
pada asas kesetaraan, sebagaimana QS. 49: 13.
Prinsip keadilan (‘adâlah) adalah
prinsip yang ideal (QS. 16: 90; 7: 29; 16: 90; 42: 15). Keadilan menempatkan
para pihak untuk memenuhi perjanjian yang telah mereka buat dan memenuhi semua
kewajibannya (QS. 3: 17; 2: 177; 23: 8; 5: 1).
Konsep kesetaraan dan keadilan semestinya mengantarkan majikan dan
pekerja kepada tujuan yang diharapkan. Tujuan yang diharapkan pekerja adalah
upah yang memadai dan kesejahteraan, sedangkan tujuan dari majikan adalah
berkembangnya usaha. Tujuan kedua belah pihak ini dapat terwujud manakala kedua
belah pihak menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik.
Akan tetapi, praktik dan fakta perpekerjaan sekarang ini menunjukkan
hubungan yang tidak seimbang antara majikan dan pekerja. Majikan, karena
memiliki daya tawar yang lebih besar, sering memanfaatkan dan mengeksploitasi
pekerja. Magang, trainee, dan kontrak adalah model-model eksploitasi dan
tekanan majikan kepada pekerja.Lantas bagaimanakah
solusi Islam atas persoalan perburuhan yang sekarang terjadi di dunia ini.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian konsep buruh dalam Islam?
2.
Apa saja
prinsip-prinsip bermuamalah?
3.
Apa posisi
majikan dan buruh dalam Islam?
4.
Apa saja hak
dan kewajiban majikan dan buruh?
5.
Bagaimana
etika pemberian hak terhadap buruh dalam Islam?
BAB 11
PEMBAHASAN
1.
Pengetian dan Konsep Buruh dalam Islam
Salah
satu cara untuk memperoleh kemuliaan dunia juga akhirat, manusia diperintahkan
giat dan rajin bekerja dalam rangka mencari rizki yang halal dan barokah.
Sebagaimana firman Allah SWT: “dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan.” (QS. Al Qashash[28]: 77)
Islam juga menyatakan bahwa bekerja
juga merupakan salah satu bentuk ibadah. Firman Allah:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. 51:56).
Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa bekerja untuk anak
isterinya melalui jalan yang halal, maka bagi mereka pahala seperti orang yang
berjihad di jalan Allah.” ( HR. Bukhari).
Konsep Perburuhan dalam Islam
Disamping memerintahkan manusia
untuk bekerja, Islam juga menawarkan sistem sosial yang adil dan bermartabat.
Dimana salah satu sistem yang ditawarkan Islam adalah sistem perburuhan yang
mencakup hubungan antara majikan, pekerja, dan pengupahan.
Islam memiliki prinsip-prinsip yang
memandu dalam hubungan buruh-majikan ini. Prinsip tersebut antara lain; prinsip
kesetaraan (musâwah) dan prinsip keadilan (‘adâlah). Prinsip kesetaraan
menempatkan majikan dan pekerja pada kedudukan yang sama atau setara, yaitu
sama-sama sebagai pihak yang langsung membutuhan dan menyerahkan apa yang
dimiliki baik dalam bentuk tenaga maupun upah. Pada saat menentukan hak dan
kewajiban masing-masing didasarkan pada asas kesetaraan, sebagaimana (QS. [49]:
13).
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
13. Hai manusia, Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Konsep kesetaraan dan keadilan
semestinya mengantarkan majikan dan pekerja kepada tujuan yang diharapkan.
Tujuan yang diharapkan pekerja adalah upah yang memadai dan kesejahteraan,
sedangkan tujuan dari majikan adalah berkembangnya usaha. Tujuan kedua belah
pihak ini dapat terwujud manakala kedua belah pihak menjalankan tugas dan
kewajibannya dengan baik.
Akan tetapi, praktik dan fakta yang ada
sebagaimana kita saksikan dan rasakan sekarang ini, masih menunjukkan hubungan
yang tidak seimbang antara majikan dan pekerja. Majikan, karena memiliki daya tawar
yang lebih besar, sering kali memanfaatkan posisi kaum pekerja yang dianggap
lemah. Sebaliknya, tidak sedikit pekerja yang tidak melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya secara maksimal karena merasa hak-haknya sebagai pekerja tidak
terpenuhi dengan baik. Oleh karenanya konsep kesetaraan dan keadilan
sebagaimana yang ditawarkan oleh Islam perlu untuk dipertimbangkan oleh
pihak-pihak terkait (pemerintah: eksekutif, legislatif, yudikatif) dalam rangka
membangun hubungan yang lebih harmonis antara kaum pekerja dan pemilik modal
melalui Undang-undang yang bermuatan unsur kesetaraan dan keadilan.
2.
Posisi Majikan dan Buruh dalam Islam
Islam menempatkan majikan dan
pekerja dalam kedudukan yang setara, keduanya saling membutuhkan satu dengan
yang lainnya. Hubungan keduanya adalah kemitraan dalam bekerja, majikan adalah
orang yang memiliki dana dan membutuhkan kerja manusia, sementara pekerja
adalah pemilik tenaga yang memerlukan dana. Keduanya saling membutuhkan,
karenanya harus diatur agar masing-masing dari keduanya menjalankan tugasnya
dengan baik dan mendapatkan bagiannya secara benar.
Firman Allah SWT yang berbunyi:
óOèdr& tbqßJÅ¡ø)t |MuH÷qu y7În/u 4 ß`øtwU $oYôJ|¡s% NæhuZ÷t/ öNåktJt±Ïè¨B Îû Ío4quysø9$# $u÷R9$# 4 $uZ÷èsùuur öNåk|Õ÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uy xÏGuÏj9 NåkÝÕ÷èt/ $VÒ÷èt/ $wÌ÷ß 3 àMuH÷quur y7În/u ×öyz $£JÏiB tbqãèyJøgs ÇÌËÈ
“Apakah
mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka
penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian
mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan”. (QS. Al-Zuhruf [43]: 32)
` Karena itu, konsep Islam tentang
hubungan kerja majikan – pekerja adalah konsep penyewaan (ijârah).
Konsep penyewaan meniscayakan keseimbangan antara kedua belah pihak, sebagai musta’jir
(penyewa) dan mu’jir (pemberi sewa). Penyewa adalah pihak yang
menyerahkan upah dan mendapatkan manfaat, sedangkan mu’jir adalah pihak
yang memberikan manfaat dan mendapatkan upah.
Antara musta’jir dan mu’jir
terikat perjanjian selama waktu tertentu sesuai kesepakatan. Selama waktu itu
pula, kedua belah pihak menjalankan kewajiban dan menerima hak masing-masing.
Dalam akad ijârah ini, musta’jir tidak dapat menguasai mu’jir,
karena status mu’jir adalah mandiri, dan hanya diambil manfaatnya saja. Berbeda
dengan jual beli, ketika akad selesai maka pembeli dapat menguasai sepenuhnya
barang yang dibelinya.
Selain melalui konsep ijârah,
hubungan kerja majikan – pekerja dapat dibangun atas konsep Islam lainnya. Di
antaranya:
1. Musyârakah
Konsep musyârakah menempatkan kedua
belah pihak dalam kedudukan yang sama, yaitu sama-sama menanggung profit and
loss sharing (PLS). Keberadaan model kerja seperti ini diakui al-Qur’an, dalam
surat 38 : ayat 24 yang artinya: “Dia (Daud) berkata “sungguh dia telah
berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk (ditambahkan) kepada
kambingnya. Memang banyak di antara orang-orang yang bersekutu itu berbuat
zalim kepada yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
kebajikan; dan hanya sedikitlah mereka yang begitu”. (QS. Shad [38]: 24)
2. Mudhârabah
Mudhârabah adalah akad perjanjian
antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada
yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya
sesuai dengan ketentuan yang disepakati. Prinsip dari konsep mudhârabah ini
adalah keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya
dan kerugian finansial menjadi beban pemilik dana sedangkan pengelola tidak
memperoleh imbalan atas usaha yang telah dilakukan.
3. Al-Ju’âlah
`Islam juga memperkenalkan konsep
kompensasi, persenan, atau hadiah. Konsep ini dikenal dalam tradisi fikih
dengan istilah ju’âlah. Ju’âlah sendiri artinya adalah sesuatu
yang diberikan kepada seseorang untuk dikarjakan. Konsep ju’âlah merupakan
suatu formula pekerjaan menghasilkan sesuatu manfaat yang berkonsekuensi pada
hadiah atau kompensasi. Seperti ketika seseorang mengatakan “Siapa yang dapat
menemukan jam tangan saya yang hilang akan mendapatkan seratus ribu rupiah”.
Dengan konsepsi seperti ini, ju’âlah
bukanlah sebuah perjanjian melainkan suatu konsekuensi. Karena itu ju’âlah
hanya membutuhkan ijab, yaitu “siapa yang dapat menemukan”, tidak
membutuhkan qabul. Qabul di sini tidak diperlukan, karena pekerjaan ini
bukanlah monopoli dari seseorang, tetapi menjadi milik siapa saja yang bersedia
melakukannya. Dan
merekalah yang mendapatkan jam tangan yang akan mendapat hadiah atau
konpensasi.
3.
Prinsip-prinsip bermuamalah dalam Islam
Prinsip-prinsip Muamalah berbeda dengan prinsip-prinsip
akidah ataupun ibadah. Dr. Muhammad 'Utsman Syabir dalam al-Mu'amalah
al-Maliyah al-Mu'ashirah fil Fiqhil Islamiy menyebutkan prinsip-prinsip
itu, yaitu:
1. Fiqh mu'amalat dibangun di atas dasar-dasar umum yang dikandung oleh beberapa nashberikut:
a. Firman Allah,
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian makan harta di antara kalian dengan
cara yang batil; kecuali dengan cara perdagangan atas dasar kerelaan di antara
kalian." (QS. An-Nisa`: 29)
"Janganlah kalian makan harta di antara kalian dengan cara yang batil dan janganlah kalian menyuap dengan harta itu, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 188)
b.FirmanAllah,
"Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS. Al-Baqarah: 275)
c. Ibnu 'Umar ra menyatakan bahwa Rasulullah saw. melarang jual beli gharar (mengandung ketidakjelasan). (HR. Muslim, 10/157 dan al-Baihaqiy di dalam as-Sunanul Kubra, 5/338)
"Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS. Al-Baqarah: 275)
c. Ibnu 'Umar ra menyatakan bahwa Rasulullah saw. melarang jual beli gharar (mengandung ketidakjelasan). (HR. Muslim, 10/157 dan al-Baihaqiy di dalam as-Sunanul Kubra, 5/338)
2.
Pada asalnya, hukum segala jenis muamalah adalah boleh. Tidak ada satu
model/jenis muamalah pun yang tidak diperbolehkan, kecuali jika didapati adanya
nash shahih yang melarangnya, atau model/jenis muamalah itu bertentangan dengan
prinsip muamalah Islam. Dasarnya adalah firman Allah,
"Katakanlah,
'Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu
jadikan sebagiannya haram dan sebagiannya halal.' Katakanlah, 'Apakah Allah
telah memberikan izin kepadamu (tentang ini), ataukah kamu mengada-ada atas
nama Allah.'." (QS. Yunus: 59)
3.
Fiqh mu'amalah mengompromikan karakter tsabat dan murunah. Tsubut
artinya tetap, konsisten, dan tidak berubah-ubah. Maknanya, prinsip-prinsip
Islam baik dalam hal akidah, ibadah, maupun muamalah, bersifat tetap,
konsisten, dan tidak berubah-ubah sampai kapan pun.
Namun
demikian, dalam tataran praktis, Islam khususnya dalam muamalah bersifat murunah. Murunah artinya
lentur, menerima perubahan dan adaptasi sesuai dengan perkembangan zaman dan
kemajuan teknologi, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang
tsubut.
4.Fiqh muamalah dibangun di atas prinsip menjaga kemaslahatan
dan 'illah (alasan disyariatkannya suatu hukum). Tujuan dari
disyariatkannya muamalah adalah menjaga dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.
Prinsip-prinsip muamalah kembali kepada hifzhulmaal (penjagaan terhadap
harta), dan itu salah satu dharuriyatul khamsah (dharurat yang lima).
Sedangkan berbagai akad seperti jual beli, sewa menyewa, dsb disyariatkan untuk memenuhi
kebutuhan manusia dan menyingkirkan kesulitan dari mereka.
4.
Hak dan Kewajiban Majikan dan Buruh
1. Hak Pekerja
a. Setiap pekerja/ buruh
berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan (Undang-undang RI No. 13 Tahun 2003 Pasal 88 Ayat 1).
b. Tuntutan upah pekerja/
buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluwarsa
setelah melampaui jangka waktu 2 tahun (dua tahun sejak timbul hak)
(Undang-undang RI No. 13 Tahun 2003 Pasal 96).
c. Menerima tunjangan
bila sakit (Undnag-undang RI No. 13 Tahun 2003 Pasal 93 Ayat 3).
d. Hak mendirikan dan menjadi
anggota perserikatan tenaga kerja (Undang-undang RI No. 13 Tahun 2003 Pasal 104 Ayat 1).
e. Menerima hak jaminan
tenaga kerja (Undang-undang No. 7 Tahun 1992 Pasal 4 Ayat 1).
f. Hak untuk
berorganisasi dan berunding bersama (Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 18
Tahun 1956 tentang konvensi ILO).
g. Hak penerimaan upah pada
hari raya resmi (Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : PER. 03/ MEN/ 1987).
2. Kewajiban Pekerja
Berdasarkan Undang-undang No. 21 Tahun 1954 tentang
perjanjian perburuhan antara serikat buruh dan majikan adalah sebagai berikut :
a. Serikat buruh wajib mengusahakan
agar anggotanya memenuhi aturan-aturan yang berlaku untuk mereka.
b. Wajib memberitahu isi
perjanjian kepada angota-anggotanya berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, yang disebutkan pada pasal-pasal sebagai berikut :
1) Pasal 1603 : “Si buruh
diwajibkan melakukan pekerjaan yang dijanjikan menurut kemampuannya dengan
sebaik-baiknya”.
2) Pasal 1063 : “Si buruh
diwajibkan sendiri melakukan pekerjaannya, tidak boleh digantikan, selain izin
si majikan dalam melakukan pekerjaan itu digantikan oleh orang ketiga”.
3) Pasal 1603 : “Si buruh
diwajibkan mentaati aturan-aturan yang ditunjukkan pada perbaikan tata tertib
dalam perusahaan majikan”.
3. Pengertian Upah
a. Berdasarkan
undang-undang kecelakaan tahun 1947 nomor 33 pasal 4 ayat 1 yang dimaksud
dengan kata “upah” dalam undang-undang ini adalah :
1) Tiap-tiap pembayaran berupa
uang yang diterima oleh buruh sebagai ganti pekerjaan.
2) Perumahan, makanan, bahkan
makanan dan pakaian dengan percuma yang nilainya ditaksir menurut harga umum di
tempat itu.
Hak dan Kewajiban Majikan
1) Pasal 50 UU No. 13 Tahun 2003
tentang ketenagakerjaan menyatakan : Hubungan kerja terjadi karena adanya
perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.
Bahwa pengertian istilah "Hubungan
kerja" merunjuk pada hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah.
Terkait dengan 3 unsur dalam hubungan kerja diatas
(pekerjaan, upah dan perintah), tentunya sebagai pemberi kerja/ pengusaha, Anda
dapat memberikan perintah kerja kepada karyawan/ pekerja Anda. Dalam konteks
dunia kerja, perintah sudah menjadi bagian keseharian dalam proses kerja
sekaligus menjadi jaminan keberlangsungan usaha perusahaan. Dalam budaya kerja,
perintah dapat dimanifestasikan dalam bentuk instruksi, petunjuk, dan pedoman.
Berdasarkan konteks di atas, jelas dan tegas, perintah kerja
merupakan unsur utama dalam hubungan kerja. Tanpa adanya perintah kerja, tentunya
tidak ada pekerjaan dan tidak ada upah yang harus dibayarkan. Terhadap
pembangkangan perintah kerja, Hukum ketenagakerjaan melindungi kepentingan
pengusaha. Hal ini dapat dilihat dalam pasal-pasal Hukum Ketenagakerjaan
sebagai berikut :
Pasal 95 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 : Pelanggaran yang
dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat
dikenakan denda.
Artinya, bilamana atas pembangkangan tersebut tenyata
Perusahaan dirugikan maka Pengusaha dapat menerapkan denda pengganti kepada si
pekerja yang bersangkutan.
Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003 :
(1) Pengusaha wajib memutuskan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh dengan alasanpekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat
sebagai berikut :
a.
melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang
milikperusahaan;
b.
memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c.
mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/ataumengedarkan
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d.
melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e.
menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja
ataupengusaha di lingkungan kerja;
f.
membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g.
dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang
milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h.
dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam
keadaan bahaya di tempat kerja;
i.
membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan
kecuali untuk kepentingan negara; atau
j.
melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidanapenjara
5 (lima) tahun atau lebih.
(2)
Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung dengan bukti
sebagai berikut :
a.
pekerja/buruh tertangkap tangan;
b.
ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c.
bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang
diperusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua)
orang saksi.
(3)
Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4).
(4)
Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha
secara langsung, selain uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156
ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
BAB III
PENUTUP
Islam memiliki prinsip-prinsip yang memandu dalam hubungan
buruh-majikan. Prinsip tersebut antara lain; prinsip kesetaraan (musâwah)
dan prinsip keadilan (‘adâlah). Prinsip kesetaraan menempatkan majikan
dan pekerja pada kedudukan yang sama atau setara, yaitu sama-sama sebagai pihak
yang langsung membutuhan dan menyerahkan apa yang dimiliki baik dalam bentuk
tenaga maupun upah. Pada saat menentukan hak dan kewajiban masing-masing
didasarkan pada asas kesetaraan.
Konsep kesetaraan dan keadilan
semestinya mengantarkan majikan dan pekerja kepada tujuan yang diharapkan.
Tujuan yang diharapkan pekerja adalah upah yang memadai dan kesejahteraan,
sedangkan tujuan dari majikan adalah berkembangnya usaha. Tujuan kedua belah
pihak ini dapat terwujud manakala kedua belah pihak menjalankan tugas dan
kewajibannya dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Afzalurrahman, Muhammad
Sebagai Seorang Pedagang, (Yayasan Swarna Bhumi, 1997)
Http://msikepri.wordpress.com/2011/12/08/kedudukan-dan-konsep-buruh-dalam-islam/
Hasan, Ahmad, Nazhariyat
al-Ujûr fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Suria, Dâr Iqrâ’, 2002)
Qorashi, Baqir
Sharief, Keringat
Buruh, Hak dan Peran Pekerja dalam Islam, (Jakarta: Penerbit
Al-Huda, 2007)
Sayyid Sabiq, fiqh
sunah, PT. Al’Ma’arif, Bandung, 1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar