Sabtu, 05 Desember 2015

Islam Menjunjung Tinggi Nilai Toleransi

Agama, Artikel, Globalisasi, Islam, Pendidikan,
Andaikan semua agama sama, maka tidak akan ada perbedaan. Andaikan semua agama itu benar, maka tidak perlu ada klaim kebenaran. Andaikan semua agama itu menyembah Tuhan yang sama, maka tidak perlu ada pertumpahan darah atas nama agama. Andaikan semua agama itu menuju ke jalan yang sama, maka tidak perlu ada kitab suci yang berbeda. Tetapi faktanya memang berbeda, perbedaan menjadi sunnahNya, dan justru dengan berbedalah keindahan muncul. Pertanyaannya, kenapa harus ada paksaan untuk disamakan dan diseragamkan?
Dewasa ini banyak fenomena yang menjurus ke arah usaha penyeragaman ini dan menolak perbedaan.  Dengan alasan perdamaian dunia, perbedaan berusaha dihapuskan. Karena menurut para penggagasnya, seluruh agama akarnya satu, yakni dari sang pencipta, sehingga mereka berdalih: “Kenapa harus berbeda? Perbedaan adalah sumber konflik dan hal ini sangat berbahaya!”.  Tetapi, apabila kita mau berpikir lebih dalam lagi (berfilsafat),  kita akan menemukan bahwa masing-masing agama memang berbeda dan telah digariskan olehNya.  
Berdasar keniscayaan perbedaan ini, tentu kita tidak  bisa mendefinisikan atau membuat pernyataan yang cuma berdasarkan logika dan hawa nafsu belaka. Kebenaran muncul dari yang membuat kebenaran itu sendiri, yakni Tuhan sang pencipta, Allah Swt. Karena kalau kebenaran diserahkan kepada masing-masing manusia, maka yang muncul bukan kebenaran, tapi pembenaran. Selain itu, penyeragaman pemahaman agama akan memiskinkan makna keberagamaan dan melanggengkan salah persepsi  antar umat beragama.
Sobat,  agama kita bagi sebagian kalangan dianggap sensitif. karena alasan sensitifnya ini bagi sebagian kalangan membicarakan agama secara vulgar di tempat umum dianggap tabu dan tidak pada tempatnya. Ambil kasus sebuah telorensi beragama misalnya, akan dianggap tabu jika kita  menanyakan kepada teman status agama mereka dalam forum umum. Pertanyaan “Apa agama anda?” bagi sebagian kalangan dianggap arogan atau sok beragama, bisa juga pertanyaan itu dianggap pertanyaaan dengan nada sentimen dengan tendensi SARA dan macam-macam pikiran lainnya.
Kenapa? Karena kita terbiasa menabukan hal tersebut. Dianggap bahwa agama adalah urusan masing-masing individu. tidak boleh ada individu lain yang mempertanyakan dan mempersoalkan status agama seseorang. Alasannya, kita menjunjung kebersamaan. Jadi jangan heran pula kalau kemudian muncul istilah toleransi, anak bangsa, dialog lintas agama dan iman, dan lain sejenisnya untuk mengkampanyekan tentang pentingnya persamaan. Padahal dua hal ini jelas sangat berbeda jauh karena dasarnya juga berbeda. Jadi apa yang mau disamakan? Semoga kita bisa memahaminya.
Jalaluddin Rakhmat –biasa dipanggil Kang Jalal, dalam bukunya Psikologi Agama, 2003, menyebut bahwa agama adalah kenyataan terdekat dan misteri terjauh. Begitu dekat bermakna ia senantiasa hadir dalam kehidupan kita sehari-hari—di rumah, kantor, media, pasar, di mana saja. Begitu misterius karena ia menampakkan wajah-wajah yang sering tampak berlawanan. Di satu sisi agama bias memotivasi kekerasan tanpa belas kasihan, di sisi lain agama  adalah pengabdian tanpa batas yang mengilhami pencarian ilmu tertinggi atau menyuburkan takhayul dan superstisi (ketakhayulan). Misteri agama menciptakan gerakan massa paling kolosal atau menyingkap misteri ruhani paling personal; memekikkan perang paling keji atau menebarkan kedamaian paling hakiki.
Oleh sebab itu, misteri agama bisa mengakibatkan seseorang merasa bingung dengan agama, kemudian mulai menghindarinya dan mengajarkan atheisme. Maka, tidak usah heran kalau Darwin, Marx dan Freud membunuh Tuhan dan Nietzsche turun dari bukit, menyanyikan lagu Zarathusta: Gott is gestorben (alias Tuhan sudah mati) .
Sobat muda muslim, saat ini banyak kaum muslimin yang mulai kendor ikatannya dengan ajaran Islam, bahkan hampir-hampir ada yang sampai berusaha melawan setiap ajaran yang ada dalam Islam, juga banyak yang berupaya menyamakan Islam dengan agama yang lain, maka penulis merasa perlu untuk menjelaskan (semoga saja mencerahkan), tentang masalah ini. Penulis ingin menegaskan di sini bahwa Islam adalah agama berbeda dengan agama yang lainnya. Dalam Islam keyakinan seorang muslim tidak bisa digeser-geser dan dipindah-pindah ke tempat lain. Iman seorang muslim tertanam kuat di hati dan menjadi spirit kehidupan mereka.

Tidak Ada Toleransi dalam Akidah
Islam memang berbeda. Agama Islam tidak bisa disamakan dan disatukan dengan agama lainnya. Ibarat air dan minyak, maka Islam tidak bisa dicampur dengan ajaran agama lainnya. Antara Islam dan agama yang lain akan saling menolak dalam hal prinsip, dan akan saling bertentangan dalam masalah akidah. Tidak ada gaya elektrostatis alias gaya tarik-menarik dalam urusan syariat antara Islam dan agama lain.
Konsep Islam tentang Ketuhanan adalah konsepsi tauhid (ke-Esaan)  dan tentu berbeda dengan agama lain, Nasrani misalnya, mereka punya konsep trinitas. Al-Qur’an secara eksplisit menerangkan :
Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka. (QS al-An'aam: 1)
Dalam pernyataan yang lebih jelas dan tegas, Allah Swt menyebutkan (yang artinya): “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putera Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS al-Maaidah: 72)
Dari dua ayat di atas, Allah Swt mengajarkan bahwa keyakinan seorang muslim berbeda dengan keyakinan agama lain. Oleh sebab itu, jangan bingung apabila syariatnya juga beda. Maka, pertanyaannya mengapa masih juga ada seseorang yang menyatakan bahwa “semua agama sama?”, bahkan atas nama toleransi merasa diri harus terlibat dalam ritual  ibadah agama orang lain; mengikuti perayaan natal dianggap wajar, dan lain seterusnya.
Konsepsi toleransi dalam Islam berada di luar urusan keimanan dan ibadah. Dalam hal ibadah dan akidah Allah swt telah berfirman : “Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS al-Kaafiruun: 1-6)

Oleh: Alfi Mufidatul Amna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar