Selasa, 15 Desember 2015

Pengertian dan Konsep Buruh dalam Islam



BAB 1
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Islam hadir di muka bumi menawarkan sistem social yang adil dan bermartabat. Salah satu sistem yang ditawarkan Islam adalah sistem perpekerjaan, yang di dalamnya mencakup di antaranya hubungan majikan – pekerja dan pengupahan.
Islam memiliki prinsip-prinsip yang memandu dalam hubungan perpekerjaan ini, antara lain prinsip; kesetaraan (musâwah) dan keadilan (‘adâlah). Prinsip kesetaraan menempatkan majikan dan pekerja pada kedudukan yang sama atau setara, yaitu sama-sama sebagai pihak yang langsung membutuhan dan menyerahkan apa yang dimiliki baik dalam bentuk tenaga maupun upah. Pada saat menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas kesetaraan, sebagaimana QS. 49: 13.
Prinsip keadilan (‘adâlah) adalah prinsip yang ideal (QS. 16: 90; 7: 29; 16: 90; 42: 15). Keadilan menempatkan para pihak untuk memenuhi perjanjian yang telah mereka buat dan memenuhi semua kewajibannya (QS. 3: 17; 2: 177; 23: 8; 5: 1). 

Konsep kesetaraan dan keadilan semestinya mengantarkan majikan dan pekerja kepada tujuan yang diharapkan. Tujuan yang diharapkan pekerja adalah upah yang memadai dan kesejahteraan, sedangkan tujuan dari majikan adalah berkembangnya usaha. Tujuan kedua belah pihak ini dapat terwujud manakala kedua belah pihak menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik.
Akan tetapi, praktik dan fakta perpekerjaan sekarang ini menunjukkan hubungan yang tidak seimbang antara majikan dan pekerja. Majikan, karena memiliki daya tawar yang lebih besar, sering memanfaatkan dan mengeksploitasi pekerja. Magang, trainee, dan kontrak adalah model-model eksploitasi dan tekanan majikan kepada pekerja.Lantas bagaimanakah solusi Islam atas persoalan perburuhan yang sekarang terjadi di dunia ini.
B.  Rumusan Masalah
1.              Apa pengertian konsep buruh dalam Islam?
2.              Apa saja prinsip-prinsip bermuamalah?
3.              Apa posisi majikan dan buruh dalam Islam?
4.              Apa saja hak dan kewajiban majikan dan buruh?
5.              Bagaimana etika pemberian hak terhadap buruh dalam Islam?










BAB 11
PEMBAHASAN

1.      Pengetian dan Konsep Buruh dalam Islam
 iSalah satu cara untuk memperoleh kemuliaan dunia juga akhirat, manusia diperintahkan giat dan rajin bekerja dalam rangka mencari rizki yang halal dan barokah. Sebagaimana firman Allah SWT: “dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al Qashash[28]: 77)
Islam juga menyatakan bahwa bekerja juga merupakan salah satu bentuk ibadah. Firman Allah:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ  
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. 51:56).
Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa bekerja untuk anak isterinya melalui jalan yang halal, maka bagi mereka pahala seperti orang yang berjihad di jalan Allah.” ( HR. Bukhari).


Konsep Perburuhan dalam Islam
Disamping memerintahkan manusia untuk bekerja, Islam juga menawarkan sistem sosial yang adil dan bermartabat. Dimana salah satu sistem yang ditawarkan Islam adalah sistem perburuhan yang mencakup hubungan antara majikan, pekerja, dan pengupahan.
Islam memiliki prinsip-prinsip yang memandu dalam hubungan buruh-majikan ini. Prinsip tersebut antara lain; prinsip kesetaraan (musâwah) dan prinsip keadilan (‘adâlah). Prinsip kesetaraan menempatkan majikan dan pekerja pada kedudukan yang sama atau setara, yaitu sama-sama sebagai pihak yang langsung membutuhan dan menyerahkan apa yang dimiliki baik dalam bentuk tenaga maupun upah. Pada saat menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas kesetaraan, sebagaimana (QS. [49]: 13).
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ  
13. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Konsep kesetaraan dan keadilan semestinya mengantarkan majikan dan pekerja kepada tujuan yang diharapkan. Tujuan yang diharapkan pekerja adalah upah yang memadai dan kesejahteraan, sedangkan tujuan dari majikan adalah berkembangnya usaha. Tujuan kedua belah pihak ini dapat terwujud manakala kedua belah pihak menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik.
Akan tetapi, praktik dan fakta yang ada sebagaimana kita saksikan dan rasakan sekarang ini, masih menunjukkan hubungan yang tidak seimbang antara majikan dan pekerja. Majikan, karena memiliki daya tawar yang lebih besar, sering kali memanfaatkan posisi kaum pekerja yang dianggap lemah. Sebaliknya, tidak sedikit pekerja yang tidak melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya secara maksimal karena merasa hak-haknya sebagai pekerja tidak terpenuhi dengan baik. Oleh karenanya konsep kesetaraan dan keadilan sebagaimana yang ditawarkan oleh Islam perlu untuk dipertimbangkan oleh pihak-pihak terkait (pemerintah: eksekutif, legislatif, yudikatif) dalam rangka membangun hubungan yang lebih harmonis antara kaum pekerja dan pemilik modal melalui Undang-undang yang bermuatan unsur kesetaraan dan keadilan.
2.      Posisi Majikan dan Buruh dalam Islam
Islam menempatkan majikan dan pekerja dalam kedudukan yang setara, keduanya saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Hubungan keduanya adalah kemitraan dalam bekerja, majikan adalah orang yang memiliki dana dan membutuhkan kerja manusia, sementara pekerja adalah pemilik tenaga yang memerlukan dana. Keduanya saling membutuhkan, karenanya harus diatur agar masing-masing dari keduanya menjalankan tugasnya dengan baik dan mendapatkan bagiannya secara benar.





Firman Allah SWT yang berbunyi:
óOèdr& tbqßJÅ¡ø)tƒ |MuH÷qu y7În/u 4 ß`øtwU $oYôJ|¡s% NæhuZ÷t/ öNåktJt±ŠÏè¨B Îû Ío4quŠysø9$# $u÷R9$# 4 $uZ÷èsùuur öNåk|Õ÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uyŠ xÏ­GuÏj9 NåkÝÕ÷èt/ $VÒ÷èt/ $wƒÌ÷ß 3 àMuH÷quur y7În/u ׎öyz $£JÏiB tbqãèyJøgs ÇÌËÈ 
 “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS. Al-Zuhruf [43]: 32)
`           Karena itu, konsep Islam tentang hubungan kerja majikan – pekerja adalah konsep penyewaan (ijârah). Konsep penyewaan meniscayakan keseimbangan antara kedua belah pihak, sebagai musta’jir (penyewa) dan mu’jir (pemberi sewa). Penyewa adalah pihak yang menyerahkan upah dan mendapatkan manfaat, sedangkan mu’jir adalah pihak yang memberikan manfaat dan mendapatkan upah.
Antara musta’jir dan mu’jir terikat perjanjian selama waktu tertentu sesuai kesepakatan. Selama waktu itu pula, kedua belah pihak menjalankan kewajiban dan menerima hak masing-masing. Dalam akad ijârah ini, musta’jir tidak dapat menguasai mu’jir, karena status mu’jir adalah mandiri, dan hanya diambil manfaatnya saja. Berbeda dengan jual beli, ketika akad selesai maka pembeli dapat menguasai sepenuhnya barang yang dibelinya.
Selain melalui konsep ijârah, hubungan kerja majikan – pekerja dapat dibangun atas konsep Islam lainnya. Di antaranya:
1. Musyârakah
Konsep musyârakah menempatkan kedua belah pihak dalam kedudukan yang sama, yaitu sama-sama menanggung profit and loss sharing (PLS). Keberadaan model kerja seperti ini diakui al-Qur’an, dalam surat 38 : ayat 24 yang artinya: “Dia (Daud) berkata “sungguh dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk (ditambahkan) kepada kambingnya. Memang banyak di antara orang-orang yang bersekutu itu berbuat zalim kepada yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; dan hanya sedikitlah mereka yang begitu”. (QS. Shad [38]: 24)
2. Mudhârabah
Mudhârabah adalah akad perjanjian antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati. Prinsip dari konsep mudhârabah ini adalah keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya dan kerugian finansial menjadi beban pemilik dana sedangkan pengelola tidak memperoleh imbalan atas usaha yang telah dilakukan.
3. Al-Ju’âlah
`Islam juga memperkenalkan konsep kompensasi, persenan, atau hadiah. Konsep ini dikenal dalam tradisi fikih dengan istilah ju’âlah. Ju’âlah sendiri artinya adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang untuk dikarjakan. Konsep ju’âlah merupakan suatu formula pekerjaan menghasilkan sesuatu manfaat yang berkonsekuensi pada hadiah atau kompensasi. Seperti ketika seseorang mengatakan “Siapa yang dapat menemukan jam tangan saya yang hilang akan mendapatkan seratus ribu rupiah”.
Dengan konsepsi seperti ini, ju’âlah bukanlah sebuah perjanjian melainkan suatu konsekuensi. Karena itu ju’âlah hanya membutuhkan ijab, yaitu “siapa yang dapat menemukan”, tidak membutuhkan qabul. Qabul di sini tidak diperlukan, karena pekerjaan ini bukanlah monopoli dari seseorang, tetapi menjadi milik siapa saja yang bersedia melakukannya. Dan merekalah yang mendapatkan jam tangan yang akan mendapat hadiah atau konpensasi.

3.      Prinsip-prinsip bermuamalah dalam Islam
Prinsip-prinsip Muamalah berbeda dengan prinsip-prinsip akidah ataupun ibadah. Dr. Muhammad 'Utsman Syabir dalam al-Mu'amalah al-Maliyah al-Mu'ashirah fil Fiqhil Islamiy menyebutkan prinsip-prinsip itu, yaitu:

1. Fiqh mu'amalat dibangun di atas dasar-dasar umum yang dikandung oleh beberapa nashberikut:

a. Firman Allah,
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian makan harta di antara kalian dengan cara yang batil; kecuali dengan cara perdagangan atas dasar kerelaan di antara kalian." (QS. An-Nisa`: 29)

"Janganlah kalian makan harta di antara kalian dengan cara yang batil dan janganlah kalian menyuap dengan harta itu, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 188)
b.FirmanAllah,
"Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS. Al-Baqarah: 275)

c. Ibnu 'Umar ra menyatakan bahwa Rasulullah saw. melarang jual beli gharar (mengandung ketidakjelasan). (HR. Muslim, 10/157 dan al-Baihaqiy di dalam as-Sunanul Kubra, 5/338)
2. Pada asalnya, hukum segala jenis muamalah adalah boleh. Tidak ada satu model/jenis muamalah pun yang tidak diperbolehkan, kecuali jika didapati adanya nash shahih yang melarangnya, atau model/jenis muamalah itu bertentangan dengan prinsip muamalah Islam. Dasarnya adalah firman Allah,
"Katakanlah, 'Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan sebagiannya halal.' Katakanlah, 'Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini), ataukah kamu mengada-ada atas nama Allah.'." (QS. Yunus: 59)
3. Fiqh mu'amalah mengompromikan karakter tsabat dan murunah. Tsubut artinya tetap, konsisten, dan tidak berubah-ubah. Maknanya, prinsip-prinsip Islam baik dalam hal akidah, ibadah, maupun muamalah, bersifat tetap, konsisten, dan tidak berubah-ubah sampai kapan pun.
Namun demikian, dalam tataran praktis, Islam khususnya dalam muamalah bersifat murunah. Murunah artinya lentur, menerima perubahan dan adaptasi sesuai dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang tsubut.
4.Fiqh muamalah dibangun di atas prinsip menjaga kemaslahatan dan 'illah (alasan disyariatkannya suatu hukum). Tujuan dari disyariatkannya muamalah adalah menjaga dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat. Prinsip-prinsip muamalah kembali kepada hifzhulmaal (penjagaan terhadap harta), dan itu salah satu dharuriyatul khamsah (dharurat yang lima). Sedangkan berbagai akad seperti jual beli, sewa menyewa, dsb disyariatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan menyingkirkan kesulitan dari mereka.
4.      Hak dan Kewajiban Majikan dan Buruh
 1.      Hak Pekerja
a.       Setiap pekerja/ buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Undang-undang RI No. 13 Tahun 2003 Pasal 88 Ayat 1).
b.      Tuntutan upah pekerja/ buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 tahun (dua tahun sejak timbul hak) (Undang-undang RI No. 13 Tahun 2003 Pasal 96).
c.       Menerima tunjangan bila sakit (Undnag-undang RI No. 13 Tahun 2003 Pasal 93 Ayat 3).
d.      Hak mendirikan dan menjadi anggota perserikatan tenaga kerja (Undang-undang RI No. 13   Tahun 2003 Pasal 104 Ayat 1).
e.       Menerima hak jaminan tenaga kerja (Undang-undang No. 7 Tahun 1992 Pasal 4 Ayat 1).
f.       Hak untuk berorganisasi dan berunding bersama (Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 18 Tahun 1956 tentang konvensi ILO).
g.      Hak penerimaan upah pada hari raya resmi (Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : PER. 03/ MEN/ 1987).

2.      Kewajiban Pekerja
Berdasarkan Undang-undang No. 21 Tahun 1954 tentang perjanjian perburuhan antara serikat buruh dan majikan adalah sebagai berikut :
a.       Serikat buruh wajib mengusahakan agar anggotanya memenuhi aturan-aturan yang berlaku untuk mereka.
b.      Wajib memberitahu isi perjanjian kepada angota-anggotanya berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang disebutkan pada pasal-pasal sebagai berikut :
1)      Pasal 1603 : “Si buruh diwajibkan melakukan pekerjaan yang dijanjikan menurut kemampuannya dengan sebaik-baiknya”.
2)      Pasal 1063 : “Si buruh diwajibkan sendiri melakukan pekerjaannya, tidak boleh digantikan, selain izin si majikan dalam melakukan pekerjaan itu digantikan oleh orang ketiga”.
3)      Pasal 1603 : “Si buruh diwajibkan mentaati aturan-aturan yang ditunjukkan pada perbaikan tata tertib dalam perusahaan majikan”.
3.      Pengertian Upah
a.       Berdasarkan undang-undang kecelakaan tahun 1947 nomor 33 pasal 4 ayat 1 yang dimaksud dengan kata “upah” dalam undang-undang ini adalah :
1)      Tiap-tiap pembayaran berupa uang yang diterima oleh buruh sebagai ganti pekerjaan.
2)      Perumahan, makanan, bahkan makanan dan pakaian dengan percuma yang nilainya ditaksir menurut harga umum di tempat itu.
Hak dan Kewajiban Majikan
1) Pasal 50 UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyatakan : Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.

Bahwa pengertian istilah "Hubungan kerja" merunjuk pada hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.

Terkait dengan 3 unsur dalam hubungan kerja diatas (pekerjaan, upah dan perintah), tentunya sebagai pemberi kerja/ pengusaha, Anda dapat memberikan perintah kerja kepada karyawan/ pekerja Anda. Dalam konteks dunia kerja, perintah sudah menjadi bagian keseharian dalam proses kerja sekaligus menjadi jaminan keberlangsungan usaha perusahaan. Dalam budaya kerja, perintah dapat dimanifestasikan dalam bentuk instruksi, petunjuk, dan pedoman.

Berdasarkan konteks di atas, jelas dan tegas, perintah kerja merupakan unsur utama dalam hubungan kerja. Tanpa adanya perintah kerja, tentunya tidak ada pekerjaan dan tidak ada upah yang harus dibayarkan. Terhadap pembangkangan perintah kerja, Hukum ketenagakerjaan melindungi kepentingan pengusaha. Hal ini dapat dilihat dalam pasal-pasal Hukum Ketenagakerjaan sebagai berikut :

Pasal 95 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 : Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.

Artinya, bilamana atas pembangkangan tersebut tenyata Perusahaan dirugikan maka Pengusaha dapat menerapkan denda pengganti kepada si pekerja yang bersangkutan.
Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003 :
(1) Pengusaha wajib memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasanpekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :
a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milikperusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/ataumengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja ataupengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidanapenjara 5 (lima) tahun atau lebih.

(2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung dengan bukti sebagai berikut :
a. pekerja/buruh tertangkap tangan;
b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang diperusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

(3) Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4).

(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
















BAB III
PENUTUP
Islam memiliki prinsip-prinsip yang memandu dalam hubungan buruh-majikan. Prinsip tersebut antara lain; prinsip kesetaraan (musâwah) dan prinsip keadilan (‘adâlah). Prinsip kesetaraan menempatkan majikan dan pekerja pada kedudukan yang sama atau setara, yaitu sama-sama sebagai pihak yang langsung membutuhan dan menyerahkan apa yang dimiliki baik dalam bentuk tenaga maupun upah. Pada saat menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas kesetaraan.
Konsep kesetaraan dan keadilan semestinya mengantarkan majikan dan pekerja kepada tujuan yang diharapkan. Tujuan yang diharapkan pekerja adalah upah yang memadai dan kesejahteraan, sedangkan tujuan dari majikan adalah berkembangnya usaha. Tujuan kedua belah pihak ini dapat terwujud manakala kedua belah pihak menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik.













DAFTAR PUSTAKA

Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, (Yayasan Swarna Bhumi, 1997)
Http://msikepri.wordpress.com/2011/12/08/kedudukan-dan-konsep-buruh-dalam-islam/
Hasan, Ahmad, Nazhariyat al-Ujûr fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Suria, Dâr Iqrâ’, 2002)
Qorashi, Baqir Sharief, Keringat Buruh, Hak dan Peran Pekerja dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Al-Huda, 2007)
Sayyid Sabiq, fiqh sunah, PT. Al’Ma’arif, Bandung, 1994

Tidak ada komentar:

Posting Komentar