Minggu, 10 Januari 2016

IDE KEADILAN DALAM HUKUM ISLAM



Islam, Teknologi, Modern, Artikel, Globalisasi
Pembicaraan tentang hukum tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang keadilan. Keadilan merupakan nilai ideal dari setiap pembuatan maupun pelaksanaan hokum. Keadilan sampai saat ini masih dianggap sebagai konsep yang abstrak dan dipaha­mi tanpa batasan yang jelas. Pertanyaanya, bagaimana dengan hokum Islam?. Apakah dalam pembangunan hukum Islam mengenal konsep keadilan?
Ibnu al-Qayyim Al-Jauziyah -ahli ushul fiqh mazhab Hanbali,(1994; 121) merumuskan sebuah gagasan menarik tentang keadilan ini, yakni bahwa syariah adalah keadilan dan keadilan adalah syariah. Ibnu al-Qayyim menolak pemilahan wilayah antara syariah dan siyasah. Menurut Ibn al-Qayyim pemila­han wilayah tersebut bisa dipandang tidak tepat karena syariah dan siyasah adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan secara hitam-putih. Ibnu al-Qayyim menyetujui pemi­lahan antara keadilan dan kezaliman. Keadilan adalah bagian dari atau bahkan syariah itu sendiri, sedangkan kezaliman bukan termasuk bagian syariah.
Sejalan dengan gagasan keadilan di bidang hukum ini, pun dalam bidang politik dan keilmuan dalam Islam keadilan dijadikan nilai ideal. Salah satu kriteria pemimpin yang ideal dalam konsepsi politik Islam misalnya adalah harus adil. Meskipun pada kondisi yang darurat, kriteria keadilan itu bisa diterapkan lebih luas (Al­Tahanawi. 1972. h. 33-34.)
 
Diskursus mengenai keadilan dapat dilacak pada sumber-sumber hukum Islam sendiri, yaitu Al­-Qur'an dan hadits. Banyak ayat-ayat Al-Qur'an dalam berbagai kesempatan memerintah­kan umatnya untuk berbuat adil. Surat al-Nisa' ayat 58 menyatakan bahwa dalam mengadili dua orang yang bersengketa harus dilakukan secara adil. Surat al-Nisa' ayat 03 menyatakan bahwa syarat mono­gami dianjurkan apabila laki-laki khawatir tidak mampu berbuat adil. Surat al-Maidah ayat 6 memerin­tahkan orang-orang mukmin berbuat adil karena adil lebih dekat pada ketaqwaan.
Tulisan ini berupaya untuk mendefinisikan keadilan dalam kerangka hukum, khususnya hukum Islam. Urgensi menjelaskan keadilan dalam kerangka hukum sangat diperlukan karena keadilan dalam hukum seringkali dipahami dalam kerangka kepentingan tertentu. Sebagai contoh orang yang kalah di pengadilan akan berpikir bahwa keputusan hakim salah atau meragukan, sementara pihak yang menang akan memandang bahwa putusan hakim sangatlah adil. Jebakan kepentingan ini  sering kali mengaburkan arti keadilan. Sebagai contoh orang yang selalu ditimpa musibah akan berpikir bahwa Tuhan tidak bersikap adil kepadanya, tetapi ketika ia mendapatkan pertolonganNya seseorang baru berpikir bahwa Tuhan benar-benar adil. Dengan demiki­an, pemaknaan keadilan sangat rawan dari kepentingan pribadi. Wajar jika sebagian ahli hukum berpendapat bahwa hukum bukan keadilan, yang patut diperhitungkan karena konsepsi keadilan hanya mungkin didefinisi­kan dalam kerangka hukum. (W. Paton, 1955. h. 79.)


Gagasan Keadilan dalam Lintasan Sejarah

Keadilan adalah sebuah istilah abstrak. Mamaknai dengan benar konsep keadilan bukanlah upaya yang mudah. Hal inilah yang diungkapkan John Dewey bahwa keadi­lan tidak dapat digambarkan dalam pengertian yang pasti. Ia berpen­dapat bahwa keadilan umumnya dipandang sebagai kebajikan yang tidak berubah, akan tetapi persaingan yang merugikan adalah tidak adil dan tidak fair. (Muhammad Muslehuddin. 1985. h. 99.)
Sebenarnya upaya pemaknaan terhadap istilah keadilan ini telah dilakukan oleh para ahli semenjak lama. Plato memaknai keadilan sebagai kebaji­kan tertinggi yang tidak dapat dijelaskan melalui alasan rasional, melainkan terdiri atas pelaksanaan individu masing-masing terhadap tugas yang bebankan kepada mereka. Keadilan versi Plato adalah keadilan yang dilekatkan kepada status dan kelas di masyarakat. Individu harus melaksanakan tugas dan kewajiban yang dibebankan oleh posisi dia dalam konteks sosial. Keadilan Plato menekankan kepada moralitas yang mendukung status quo. Sebaliknya, Aristoteles memberi­kan definisi keadilan dalam perspektif yang berbeda. Aristoteles menekankan kepada arti penting hukum. Aristoteles melihat keadilan dari sudut pandang hukum dan keperluan terhadap prinsip kebaikan. Konsepsi keadilan menurut Aristoteles berkaitan dengan konsepsinya mengenai manusia sebagai zoon politicon (makhluk politis). Manusia sebagai zoonpiliticon harus aktif dalam kegiatan-kegiatan politik. Ketaatan tertinggi manusia sebagai anggota politis adalah ketaatan terhadap hukum politis. Keutamaan itulah yang disebut Aristoteles sebagai keadilan. Keadilan hukum dalam pandangan Aristoteles terkait dengan keadilan umum. (Theo Huijbers. 1988. h. 28.29.)
Menurut Paton, keadilan dan hukum harus dipisahkan karena keduanya memiliki konsepsi yang berbeda. Hukumlah yang benar-benar memiliki kekuatan, sedangkan keadilan adalah ideal yang terdiri atas sifat alami moral manusia. Konsep keadilan berkembang sejalan dengan proses perkembang­an manusia, tetapi konsep tersebut tidak terbatas pada apa yang terjadi di dunia nyata. Keadilan implisit dalam hukum dan menyediakan test eksternal untuk menilai hukum. Hukum merupakan sarana untuk mencapai keadilan. (Ibid. h. 79)
Meskipun demikian, pemahaman mengenai keadilan adalah sebuah persoalan tersendiri bagi para pemikir muslim. Sebagian pemikir muslim mendefinisikan keadilan dalam kerangka filsafat Aristotelian. Keadilan dipahami sebagai pengeja­wantahan keutamaan yang ter­tinggi. Keadilan adalah keutamaan yang ada dalam jiwa manusia setelah kualitas-kualitas utama lain, yaitu kebijaksanaan (hikmah), iffah (kesucian diri), dan syajaah (keberanian), itu terpenuhi.(lbnu Maskawaih. 1329 H. h. 10-24)
Upaya menjabarkan makna keadilan yang dilakukan Maskawaih menunjukkan betapa nilai ideal keadilan yang ada dalam Al-Qur'an masih sangat umum sehingga memungkinkan berbagai upaya penjabaran praktis. Maskawaih mencoba mendefinisikan keadilan dalam kerangka filsafat etika Aristotelian. Barangkali juga, ulama-ulama lain akan mendefinisikan keadilan dalam kerangka yang lain.

Islam dan Keadilan

Gagasan keadilan dalam Islam dapat dijumpai dalam Al-Qur'an dan sunnah. Al-Qur'an mengan­dung beberapa istilah yang dekat dengan istilah keadilan, yaitu al­qisth, al-adl, dan mizan. Quraish Shihab memberikan penjelasan bahwa kata al-ad1 berarti menundukkan dua belah pihak dalam posisi yang sama. Kata al-qisth artinya bagian yang patut dan wajar dan memiliki pengertian yang lebih luas dibandingkan dengan al-adl. Kata mizan berarti timbangan dan juga digunakan untuk menyebut keadilan. (Quraish Shihab. 1996. 111-112.)
Kata adl merujuk kepada keadilan dalam pengertian balasan atau retribusi yang sama. Jika ada orang yang tidak melaksanakan puasa, maka ia harus mengganti pada hari lain. Sementara itu, kata qisth merujuk kepada kesamaan (equality) dalam pengertian pember­lakuan aturan kepada orang-orang yang bukan warga negara. Pengertian keadilan dalam kata qisth mengandung konflik kepentingan, sementara adl mengandung keseim­bangan antara kepentingan antar kelompok. Mizan dalam Al-Quran merujuk kepada pengertian keseimbangan (balance). (Manzoor Ahmad. 1986. h. 119.)
Muhammad Thahir Azary menjabarkan pengertian keadilan dalam Al-Qur'an dalam ranah politik. Penjelasannya mengenai ayat-ayat keadilan dalam Al-Qur'an didasarkan kerangka bahwa keadilan menjadi prinsip ketiga dalam nomokrasi. Keadilan dalam Islam menurut Azhary identik dengan kebenaran. Kebenaran dalam konteks ajaran Islam dihubungkan dengan Allah sebagai sumber kebenaran, yang dalam Al­-Qur'an disebut dengan al-haqq. Kata adl dalam Al-Qur'an menurut Azhary secara bahasa berarti sama. Kata adl menunjukkan keseimba­ngan atau posisi tengah. (Muhammad Tahir Azhary. 1992. h. 65-66.)
Keadilan dalam nomokrasi Islam menurut Azhary terkait dengan fungsi kekuasaan negara. Negara atau pemerintah sebagai pemegang kekuasaan memiliki tiga kewajiban pokok. Pertama, kewajiban mene­rapkan kekuasaan negara dengan adil, jujur, dan bijaksana. Kedua, kewajiban menerapkan kekuasaan kehakiman dengan seadil-adilnya Ketiga, kewajiban penyelenggara negara untuk mewujudkan tujuan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera di bawah keridhaan Allah. Keadilan dalam perspektif Azhary bersifat transenden dan menegaskan kembali posisi manusia sebagai makhluk. Keadilan Islam bersifat teosentrik karena bertumpu kepada Tuhan.[i] (Muhammad Tahir Azhary. h. 89-90.)
Quraish Shihab mencoba memetakan kembali pengertian keadilan yang dipahami oleh para ulama. Quraisy menemukan empat pengertian keadilan yang dipahami oleh para pakar muslim. Pertama, keadilan yang berarti sama yang didasarkan atas surat al-Nisa' ayat 4. Kata adil dalam keadilan dalam pengertian pertama tersebut berkenaan dengan sikap hakim dalam proses pengambilan keputusan. Kedua, keadilan berarti seimbang, yang identik dengan proporsional dalam segala hal. Ketiga, adil juga berarti memberikan perhatian kepada hak-­hak individu dan memberikan hak-­hak kepada pemiliknya. Keadilan dalam pengertian ketiga itu berkaitan dengan konteks sosial. Keadilan dalam pengertian keempat berarti memelihara kewajaran dan kelangsungan eksistensi, dimana adil ini dinisbatkan kepada Allah (Quraish Shihab. Op.Cit.h 114-116)

Keadilan dalam Hukum Islam

Keadilan dalam hukum Islam selalu dikaitkan dengan aspek Ketuhanan, yaitu dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan dan antara manusia dengan manusia dalam perspektif wahyu. Penekanan terhadap konsep keadilan dalam hukum Islam tampak dalam tulisan-­tulisan Ibnu Qayyim al-Jawziyyah. Ibnu Qayyim membicarakan keadilan dalam konteks politik hukum (siyasah syar'iyyah). Konteks itu menjadi perhatian di kalangan ulama Islam dengan adanya kesadaran bahwa penguasa dalam taraf tertentu memiliki wewenang penjabaran dan penambahan aturan hukum Islam sepanjang sesuai dengan jiwa syariah. (Noel J. Coulson. 1991. h. 129.)
Ibnu al-Qayyim membagi keputusan-­keputusan hukum yang dihasilkan oleh kekuasaan politik (siyasah) menjadi dua, yaitu adil dan zalim. Keputusan yang adil adalah syariah. Ibnu al-Qayyim menolak pembedaan antara siyasah dan syariah, melain­kan mengajukan cara pembedaan lain, yaitu adil dan zalim. Adil adalah syariah, sedangkan zhalim adalah antitesis terhadap syariah. Pandangan Ibnu al-Qayyim dapat dipahami dalam latar belakang jurisprudensi Islam. (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. 1994. h. 121.)
Yurisprudensi Islam menghasil­kan satu konsep besar hukum yang memayungi dan memberi penger­tian terhadap pola kerja hukum Islam. Konsep tersebut adalah maslahah. Istilah maslahah dalam kajian hukum Islam dipakai dalam dua pengertian, yaitu maslahah mursalah dan maslahah sebagai al­maqasid al-syariyyah. Maslahah menurut pengertian pertama (maslahah mursalah) adalah salah satu upaya menggali hukum dengan didasarkan kepada pertimbangan kebaikan umum. Maslahah mursalah sebagai sebuah metode penggalian hukum mula-mula diasosiasikan dengan madhhab Maliki, tetapi pada perkembangannya metode maslahah digunakan secara luas untuk memecahkan masalah-­masalah yang tidak ada petunjuk ekplisitnya dari Al-Qur'an dan sunnah.
Pengertian maslahah sebagai maqasid al-syari’ah dikembangkan oleh al-Juwayni, yang kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh al-­Ghazali dan mencapai puncaknya dalam pemikiran al-Syatibi. Maslahah dalam pengertian maqasid al-syari’ah menekankan kepada tujuan-tujuan esensial yang ingin dicapai oleh hukum Islam. Tujuan-tujuan esensial syariah tersebut diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu memelihara kepentingan manusia yang bersifat mendasar (dlarury), sekunder (hajjy), dan suplementer (tahsiny). Kepentingan manusia yang bersifat mendasar tercakup dalam al-kulliyah al­khamsah, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara keturunan/kehormatan, memelihara akal, dan memelihara jiwa. Rumusan di atas dipandang berasal dari inti-sari ajaran hukum Islam. (Muhammad Khalid Masud. h. 151.152.)
Hubungan antara maslahah dan keadilan memang tidak mudah dipahami apabila aspek tersebut tidak dihubungankan melalui aspek teologis dalam  membangun paradigma hukum Islam. Kalangan Mu'tazilah mengajukan kebaikan umum sebagai inti ajaran hukum Islam, yang di dalamnya mengan­dung nilai keadilan dan maslahah sekaligus. (Ibid. h. 131.) Akan tetapi, meskipun diakui sebagai sesuatu yang terkandung dalam hukum Islam, keadilan sebagai sebuah pembahasan hukum akan sulit dijumpai dalam kitab-kitab ushul fiqh. Ushul fiqh (yurisprudensi Islam) memberikan petunjuk mengenai hubungan Tuhan dengan manusia, posisi Tuhan sebagai pemberi hukum dan berbagai kaedah yang menjabarkan bagaimana kehendak Tuhan dalam Al-Qur'an dan penjelasan Nabi dipahami.
Keadilan dalam penjelasan di atas termasuk dalam kategori hukum substantif. Keadilan dalam hukum Islam tidak bisa dilepaskan dari hukum dan kebenaran. Keadilan didefinisikan dalam sudut pandang teologis, dimana hubungan Tuhan dengan manusia bersifat vertikal, yaitu sebagaimana hubungan antara hamba dengan Tuan/majikan. Kekuasaan hukum mutlak di tangan Tuhan karena satu-satunya hakim (pembuat hukum) yang diakui dalam hukum Islam hanyalah Allah. Allah sebagai Maha Adil dan Maha Benar lebih mengetahui kebenaran dan keadilan hakiki. Manusia harus selalu menemukan keadilan dan kebenaran yang dianugerahkan Tuhan melalui proses ijtihad. Ijtihad melibatkan upaya penalaran terhadap ukuran­-ukuran kebenaran yang ditetapkan oleh Tuhan. Ra’yu (ijma’, qiyas, istihsan dll) adalah salah satu bentuk ijtihad dengan menggunakan penalaran akal, meskipun Nash (al-Qur’an dan Hadist) tetap menjadi referensi dan rujukan. Prinsip keadilan meniscayakan penggunaan rasio untuk menemukan satu kasus yang tidak diterangkan oleh Firman Tuhan atau sabda Nabi. Dengan cara itu, hukum Islam berkembang dan menjangkau kasus-kasus hukum yang lebih luas melalui metode ijtihad.
Teori-teori hukum Islam memang tidak memilah secara tegas antara hukum positif dan morali­tas.(Noel J. Coulson.: iii ) Kepercayaan kepada Tuhan mengandung unsur hukum, berupa perintah dan larangan yang terejawantah dalam al-ahkam al-­khamsah. (Abdul Wahhab Khallaf. 1978. h. 105-112.) Keadilan dapat diketahui melalui kehendak Tuhan karena Tuhanlah sumber kebenaran. Gagasan keadilan dalam hukum Islam merepresentasikan pandangan yang mengaitkan keadilan dengan kebenaran.
Kebenaran adalah representasi dari kehendak Tuhan kepada manusia yang dijabarkan melalui al-ahkam al-khamsah, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Keadilan substansif dalam hukum Islam selalu dikaitkan dengan kehendak pembuat syara' (Allah) terhadap manusia, baik kehendak tersebut dipahami melalui deduksi logis (al-Kaidah al-Ushuliyah al-Lughawiyyah), dengan metode operasionalnya diantaranya qiyas, maslahah al-mursalah, istihsan dll, atau deduksi dari kaedah-­kaedah umum syariah (al-Kaidah al-Ushuliyyah al-Tasyri’’iyah) dengan operasionalnya yaitu maqashid al-syari’ah.
Ibnu al-Qayyim menegaskan kembali secara teoritis tumpang tindih kebenaran hukum dengan keadilan. Ia menyamakan antara syariat dengan keadilan. Keputusan otoritas politik (siyasah) ia pandang memiliki legitimasi sebagaimana syariah apabila mengandung nilai-­nilai keadilan karena syariah adalah representasi keadilan. Di sisi lain, keadilan yang digagas Ibnu Qayyim mengacu pula kepada upaya hakim untuk menemukan kebenaran dan memberikan hukum bilamana ada pelanggaran yang tidak ada aturan tegasnya secara formal. Ia menekan­kan agar hakim mampu menangkap kebenaran, meskipun dalam kondisi minim bukti dan minim aturan formal.(Ibnu Qayyim. 1961.h.11)
Upaya hakim dalam menemu­kan kebenaran dalam tataran praktis adalah bentuk dari keadilan prosedural. Keadilan prosedural adalah aspek ekternal hukum, tempat keadilan substantif direali­sasikan. Tanpa adanya keadilan secara prosedural, keadilan substan­tif hanya akan menjadi teori-teori yang tidak menyentuh realitas masyarakat. (Majid Khaddouri. h.144.) Peran individu dan lembaga menjadi sangat menentu­kan dalam upaya realisasi keadilan tersebut. Individu mencakup orang­-orang yang memiliki otoritas untuk melaksanakan hukum. Dalam sejarah Islam, individu tersebut meliputi para hakim dan penguasa. (Noel J. Coulson. 1969. h. 51.)
Keadilan dalam konteks pelak­sana hukum meniscayakan adanya kualifikasi untuk menjamin kapasitas dan legitimasi sosial bagi hakim, penguasa, atau pemberi sanksi di pengadilan. Keadilan dalam konteks pelaku (orang) menekan­kan kredibilitas dan kepercayaan orang untuk dapat melakukan tugas-tugas hakim, penguasa, dan persanksian di atas. Orang yang adil adalah orang yang jauh dari dosa-­dosa besar dan tidak membiasakan melakukan dosa-dosa kecil, menjaga keperwiraan (muruah), dan menjaga kesucian diri. Untuk terlibat dalam dunia keadilan, pelaku terlebih dahulu harus memiliki kualifikasi moral dan kepribadian tertentu. Kualifikasi tersebut berangkat dari stabilitas mental dan kemampuan menampil­kan diri sebagai sosok yang kredibel.(Lawrence Rosen.. h. 155-157.)
Penjelasan Rosen terhadap keadilan dalam hukum Islam adalah penjelasan terbaik terhadap keadilan dalam praktek hukum Islam. Hasil penelitian Rosen di Maroko dan kajiannya terhadap literatur-literatur hukum Islam membuatnya menyimpulkan bahwa keadilan dalam masyarakat muslim dipahami dalam tiga pengertian. Pertama, hubungan antara Tuhan dan manusia bersifat resiprok, keadilan ada ketika hubungan timbal balik membimbing semua interaksi. Kedua, keadilan merupa­kan proses dan hasil dari penyamaan entitas-entitas yang sama. Keadilan sebagai penyamaan mengisyaratkan pemahaman bahwa nalar dan pengalaman harus digunakan untuk mengkalkulasi persamaan-persama­an. Proses semacam itu tampak dalam qiyas.(Abdul Wahhab Khallaf. h. 52.) Ketiga, karena hubungan-hubungan manusia bersifat kompleks, keadilan harus dipahami melalui undang-undang­nya yang beragam, bukan sebagai sebuah prinsip yang abstrak. (Lawrence Rosen. h. 155.)


Oleh: Mujiburrokman, M.Ag

Tidak ada komentar:

Posting Komentar