Senin, 04 Januari 2016

Pendidikan dalam Pemikiran Bangsa Indonesia



Artikel, Pendidikan, Globalisasi,
Pendidikan adalah sebuah proses dari kehidupan. Pendidikan memiliki persoalan kompleks yang tetap ada sepanjang manusia membentuk peradabannya di muka bumi ini. Dalam prosesnya pendidikan tetap memerlukan pembenahan sesuai dengan masalah yang dihadapi pada zamannya. Dari beberapa persoalan pendidikan yang ada di tanah air kita persoalan pendidikan dapat dipetakan dalam sebuah konsep pemikiran guna mengatasi berbagai anomali yang terdapat dalam bidang pendidikan kita.
Pendidikan adalah hak semua warga Negara, bahwa setiap warga negara berhak memiliki akses yang sama untuk mendapatkannya. Oleh sebab itu penyelenggaraan pendidikan baik secara formal maupun informal harus bisa meningkatkan potensi masing-masing peserta didik dan tidak boleh diskriminasi. Hal ini ditegasakan dalam pembukaan UUD 1945 yang menegaskan bahwa tujuan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kompleksitas persoalan pendidikan yang ada di Indonesia di antaranya dipengaruhi oleh, pertama letak geografis Indonesia yang terdiri atas pegunungan dan kepulauan menjadikan tantangan tersendiri bagi pemerataan pendidikan secara nasional. Kondisi tersebut membuat masyarakat tertentu di pedalaman sulit berkembang karena akses pendidikan yang terbatas akibat medan wilayah yang jauh dari perkotaan serta terbatasnya alat transportasi dan komunikasi. Kedua pertambahan jumlah penduduk yang besar menjadi tantangan tersendiri dalam pembangunan pendidikan secara nasional. Sehingga sangatlah tepat jika amandemen UUD 45 pasal 31 menetapkan 20 % dari APBN/APBD untuk bidang pendidikan, meskipun dalam prakteknya masih belum seperti yang diharapkan, tetapi setidaknya sudah ada niat baik pemerintah untuk memajukan pendidikan bangsanya. Ketiga bahwa anggaran pendidikan yang disediakan pemerintah baik di pusat dan daerah terkesan tambal sulam dengan membuat kebijakan perencanaan pendidikan yang terkesan temporer seperti pengadaan BOS. Bentuk bantuan tersebut merupakan simbol pemerataan bagi orang tidak mampu agar dapat menikmati pendidikan yang berkelanjutan.
Dari beberapa pemataan persoalan di atas, sebenarnya pemerintah Indonesia telah melakukan perluasan akses pendidikan baik formal maupun informal sebagai jalan keluarnya. Digulirkannya kebijakan penyelenggaraan pendidikan jarak jauh melalui kerjasama beberapa universitas, dimana pengelolaannya oleh Dirjen Dikti dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan guru sehingga memiliki jenjang pendidikan setara S1 menjadi indicator kuatnya political will ini. Dalam bidang pendidikan informal misalnya, pemerintah telah membuat kelompok kejar paket dan membina pendidikan swakelola yang dilakukan oleh masyarakat. Kebijakan pendidikan tersebut patut didukung semua lapisan masyarakat, meskipun dalam perakteknya masih mengalami berbagai kendala, karena sebagian besar masyarakat kita tinggal di daerah pedesaan dan belum tentu semua pedesaan memiliki jaringan telepon untuk akses internet serta memiliki jaringan listrik, akibatnya kalaupun pemerintah menyediakan komputer, maka sarana tersebut terkesan mubazir.
Di samping itu pembangunan sarana dan prasarana belajar masih belum merata distribusinya sehingga terkadang ada gedung sekolah yang memprihatinkan atau asal jadi, dsb. Dengan kondisi demikian maka akses perluasan pendidikan masih mengalami kendala yang besar terutama dalam hal dukungan dana penyelenggaraan pendidikan, belum lagi penyelewengan dana pendidikan yang terjadi di beberapa daerah. Mengingat pendidikan adalah proses kehidupan yang didalamnya termasuk tanggungjawab semua strata (masyarakat, orangtua, guru, pengelola pendidikan), maka dalam rangka akselerasi perluasan pendidikan yang perlu ditekankan ke depan adalah menanamkan rasa tanggungjawab stakeholder pendidikan, sehingga perluasannya bukan saja dibebankan kepada pemerintah, inilah masalah klasik yang selalu menjadi perdebatan di masyarakat, sehingga masih menjadi kendala dalam perluasan akses pendidikan di Indonesia.

Reformasi Manajemen Pendidikan
Dunia pendidikan adalah industri yang harus dikelola secara efisien dan profesional, agar bermutu serta kompetitif di era pasar bebas. Kita tidak bisa lagi menjalankan pendidikan hanya berdasar pada kemampuan administrasi dan birokratis. Tantangan profesionalisme pendidikan dari semua jenjang (SD,SMP, SMU bahkan Perguruan Tinggi) memerlukan penataan pengajar atau guru secara profesional dalam memperkuat penguasan ilmu (kompetensi) masing-masing sesuai yang diamanatkan UU No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Untuk selanjutnya semua hasil pendidikan didasarkan pada PP No.19 tahun 2005 tentang Standarisasi Pendidikan Nasional, dimana bentuk konkretnya diuji lewat Ujian Nasional (UN) sayangnya UN kurang memperhatikan aspek perbedaan daerah secara demografi dan pemerataan pendidikan yang belum proporsional di seluruh Indonesia.
Salah satu agenda reformasi manajemen pendidikan adalah perbaikan mutu pendidikan yang dimulai dari tingkat prasekolah SD, SLTP, SMU sampai perguruan tinggi dan kegiatan non-formal di dalam kehidupan masyarakat. Masing-masing tingkatan memiliki karakteristik dan aturan tersendiri dalam pelaksanaannya. Pada era sebelumnya, masyarakat masih beranggapan bahwa pendidikan adalah persoalan yang hanya diselesaikan oleh pemerintah dan para pengelola pendidikan. Tetapi memasuki abad ke 21 ini, khususnya di Indonesia pemahaman pentingnya pendidikan telah mengalami kemajuan yang berarti dimana masyarakat telah berinisiatif sendiri dalam mengelola pendidikan dan penyelenggaraannya, yakni dengan menggunakan pola manajemen berbasiskan masyarakat (education based community), padahal pengelolaan pendidikan sebelumnya dilakukan secara rutinitas tanpa ada pola manajemen sehingga pendidikan tergantung pada penguasa (birokrasi) dan sentralistik.
Perlunya manajemen dalam pendidikan adalah untuk mengantisipasi perubahan global yang disertai oleh kemajuan ilmu pengetahun dan teknologi informasi. Perubahan itu sendiri sangat cepat dan pesat, sehingga perlu ada perbaikan yang berkelanjutan (continous improvement) di bidang pendidikan sehingga output pendidikan dapat bersaing dalam era globalisasi seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi informasi.
Persaingan tersebut hanya mungkin dimenangkan oleh lembaga pendidikan yang tetap memperhatikan kualitas pendidikan dalam pengelolaannya. Sebab syarat untuk bisa bersaing adalah perbaikan yang berkelanjutan dalam organisasi, utamanya dalam peningkatkan pendidikan sesuai konsep total kualitas terpadu (TQM) pada perguruan tinggi seperti diuraikan Ralph G.Lewis & Doughlas H.Smith, Total Quality in Higher Education, 1994-p.63 bahwa setidaknya terdapat sembilan unsur yang berkait yaitu: focus pada kebutuhan pasar; punya performans yang tinggi dalam semua bidang; punya sistem pencapaian kualitas; ada ukuran prestasi; pengembangan nilai persaingan; team yang baik; perbaikan komunikasi internal dan eksternal; pemberian reward; adanya proses review yang secara berkelanjutan. Secara normatif penerapan kesembilan point tersebut menjadi ukuran dan titik tolak untuk membuat citra pendidikan yang lebih baik, terutama pendidikan tinggi sebagai gudang ilmu pengetahuan dan teknologi masa depan.

Penguatan Lembaga Pendidikan
Penguatan tata kelola pendidikan tidak saja bengantung pada kemampuan pemerintah saja tetapi juga sangat bergantung pada kemauan dari semua lapisan masyarakat sebagai Stakeholder dalam Sistem Pendidikan Nasional, oleh sebab itu dalam pengelolaan pendidikan sebagai sebagai suatu sistem sangat berkait dengan proses dan dinamika manusia dan lingkungannya (filsafatnya), dan cita-cita pendidikan harus kita lihat secara komprehensip sebagai suatu sistem pendidikan nasional dengan adanya interdepedensi antar komponen stakeholders pendidikan yang melibatkan :
1.     Masyarakat lokal.
 UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah telah mengilhami implementasi dari otonomi pendidikan di daerah. Meskipun sebelumnya ada anggapan pendidikan hanya tanggungjawab pemerintah, namun pendidikan yang demokratis menempatkan pendidikan dengan porsi memberikan kebebasan bagi daerah untuk menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan masing-masing daerah.
2.     Orang tua
Pembentukan karakter dari peserta didik tidak bias selamanya dipasrahkan kepada lembaga sekolahan. Karakter peserta didik dalam proses kehidupan lebih cenderung terbentuk dalam lingkungan keluarga, dalam hal ini orang tua murid. Dan sekolah hanya sebatas memberikan pengetahuan saja. Namun sangat disayangkan bahwa kondisi orangtua dalam masyarakat Indonesia masih hidup terbelakang baik secara ekonomi maupun kesehatan (kurang gizi), serta kerja yang serabutan, sehingga dapat kita bayangkan bagaimana generasi yang dihasilkannya dalam rangka peningkatan pendidikan non-formal anak disamping pendidikan di sekolah.
3.     Peserta didik.
Belum sepenuhnya peserta didik dari berbagai tingkatan yang tertampung, sehingga berdampak pada jumlah anak putus sekolah karena biaya tinggi dan juga kurang didukung oleh faktor pendekatan pisik (gizi) dan pendekatan psikis.
4.     Negara
Pendidikan di daerah memerlukan perhatian serius terutama dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pemanfaatan sumberdaya manusianya. Negara dalam hal ini telah mempunyai kewajiban untuk mengembangkan dan menyokong semua kebutuhan pendidikan yang ada di seluruh wilayah Negara Indonesia. UU sisdikanas No 20 tahun 2003 telah memberi amanah 20% alokasi dari APBN/APBD untuk pendidikan.
5.     Pengelola profesi pendidikan
Pengelolaan profesi pendidikan bermakna sekolah harus bisa menjadi alat kontrol cita-cita kemajuan bangsa sesuai filsafat pendidikan dan arah kebijakan pembangunan nasional yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 45.
Dari kelima stakeholder pendidikan di atas, setidaknya tatakelola pendidikan benar-benar dapat terintegrasi dalam pembangunan nasional, yang akuntabilitasnya bukan saja tanggungjawab pemerintah melainkan sudah menjadi tanggungjawab semua lapisan masyarakat. Dengan demikian pada masa mendatang pembangunan pendidikan diharapkan dapat memberikan pencitraan publik atau performans pendidikan nasional yang berkualitas dan menghasilkan peserta didik yang mampu menghadapi pasar kerja (link and match) serta siap dengan persaingan gobal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar