Selasa, 12 Januari 2016

STRATEGI PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN ISLAM


Artikel, Belajar, Islam, Teknologi, Agama,
PEMBERLAKUAN UU No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan PP No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Provinsi sebagai Daerah Otonom berpengaruh terhadap sektor pendidikan. Pemberlakuan otonomi daerah meniscayakan otonomi di sektor pendidikan. Kemudian Menurut UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 disebutkan “Madrasah memiliki kedudukan dan peran yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya”. Namun demikian menurut Umar Yahya, kondisi sekolah Madrasah saat ini disebut sebagai “Forgotten Community” atau (masyarakat yang terlupakan). Karena pendidikan Madrasah lebih banyak dikelola oleh manager swasta dengan management yang terbatas dan tidak profesional. (Ahmad gunaryo, 1;2000, Madrasah di Era Otonomi). Kenyataan inilah yang menjadi persoalan krusial bagi madrasah. Tampaknya Keberadaan madrasah di bawah naungan Departemen Agama cukup berpengaruh terhadap kondisi dan perkembangannya. Pengaruh itu akan tampak jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum yang berada di lingkungan Depdiknas. 

Perbandingan Sekolah Umum yang dibawah Depdiknas dengan madrasah yang berada di bawah Depag RI dapat ditilik dari kasus kebijakan penganggaran dan pendanaan pemerintah terhadap subsidi per kapita bagi siswa madrasah dan sekolah umum. Dalam kebijakan ini tampak kepincangan yang cukup mencolok. Indeks biaya per kapita pendidikan per siswa di madrasah jauh lebih kecil dibandingkan dengan di sekolah umum. Pada tahun anggaran 1999/2002 misalnya, biaya pendidikan per siswa madrasah ibtidaiyah negeri (MIN) Rp 19.000 sedangkan per siswa sekolah dasar negeri Rp 100.000 (1: 5,2), madrasah tsanawiyah negeri (MTsN) per siswa Rp 33.000 sedangkan per siswa SMPN Rp 46.000. (1:1,4).Kepincangan pendanaan subsidi itu tampak lebih mencolok jika mencakup madrasah/sekolah swasta karena perbandingan persentase jumlah madrasah negeri/swasta dengan persentase jumlah sekolah negeri/swasta menunjukkan kondisi yang berkebalikan.
Data Departemen Agama pada tahun 2000 menunjukkan bahwa MI swasta mencapai 95,2% dan MIN 24,3%, SMPN berjumlah 44,9% berbanding 55,9% SMP swasta. Pada tingkat selanjutnya, MA swasta berjumlah 705 berbanding 30% MAN. Adapun SMUN berjumlah 30,5% dibanding SMU swasta 69,4%.  Oleh sebab itu, Kebanyakan madrasah, terutama swasta, mengalami kesulitan dalam prasarana dan sarana, keterbatasan jumlah tenaga kependidikan dan kemampuan yang kurang memadai dalam memberikan imbalan kepada tenaga kependidikannya. Dari sini muncul kecenderungan pragmatisme dalam penugasan guru mata pelajaran dan tenaga kependidikan lain. (Yudi Hartono MPd, alumnus Program Pascasarjana UNS Solo, Koran, Suara Merdeka. 05-01.04) 
Strategi Peningkatan Mutu Madrasah Melalui Jalur  Struktural
Ditilik dari sejarahnya, pendidikan Islam sejatinya telah lama eksis di bumi nusantara ini sejak masuknya Islam di Indonesia. Memperbincangkan Pendidikan Islam, ada tiga pengertian bagi makna pendidikan islam, yaitu Pertama, Pendidikan Islam sebagai lembaga, Kedua, Pendidikan Islam yang dimaknai sebagai mata pelajaran dan  Ketiga, Pendidikan Islam bermakna sebagai nilai-nilai Islami yang mempunyai peran dalam mencerdaskan bangsa.
Pendidikan Islam sebagai lembaga adalah diakuinya keberadaan lembaga pendidikan Islam secara ekplisit, sebagai mata pelajaran berarti di akuinya pendidikan agama sebagai salah satu mata pelajaran yang wajib diberikan pada tingkat dasar sampai pada perguruan tinggi, dan Pendidikan Islam sebagai nilai adalah ditemukannya nilai-nilai Islam dalam sistem pendidikan nasional. Untuk melihat eksistensi pendidikan Islam dalam ketiga kategori ini dapat ditemukan dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai berikut :
Pendidikan Islam sebagai Lembaga baik MI, MTs, MA atau MAK atau Perguruan Tinggi diatur dalam pasal 17 dan Pendidikan keagamaannya diatur dalam pasal 30. Kemudian Pendidkan Islam sebagai mata pelajaran dapat dilihat dalam pasal 36. Dan yang terahir, pendidikan Islam sebagai nilai pada hakikatnya adalah nilai yang membawa nilai kemaslahatan dan kesejahteraan bagi seluruh makhluk, demokratis, egalitarian, dan humanis.
Berangkat dari kenyataan di atas, jelas sekali bahwa eksistensi Pendidikan Agama Islam di madrasah sangat jelas dan dapat dirasakan. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan dan memperdayaan dan sekaligus pengembangan Pendidikan Islam secara terus menerus di antara kebijakan yang dilakukan oleh Departemen Agama dalam pembinaan Bidang Madrasah dan Pendidikan Agama Islam (Mapenda) dapat dilihat sebagai berikut :
1.      Pemerataan pendidikan, diarahkan untuk menunjang penuntasan wajib belajar 9 tahun (Wajar 9 tahun).
2.      Peningkatan Mutu Pendidikan diseluruh jenjang pendidikan, baik ditingkat MI maupun MTs dan serta peningkatan kualitas Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum.
3.      Efektifitas dan efisiensi artinya penyelenggaraan pendidikan benar-benar dapat mencapai tujuan pendidikan yang maksimal dengan memanfaatkan biaya yang minimal.
Adapun dalam bentuk pengembangan dan pemberdayaannya adalah dengan terus melakukan pembinaan dan pelatihan kepada pendidik. Dalam kacamata Departemen Agama setidaknya ada empat kompetensi pokok yang harus dimiliki oleh seorang tenaga pendidik. Pertama , kompetensi keilmuan, Kedua, kompetensi keterampilan mengkomunikasikan ilmunya kepada peserta didik. Ketiga, kompetensi manjerial dan keempat adalah kompetensi moral akademik dimana ia mesti menjadi contoh panutan bagi anak didik dan masyarakat.

 Peran dan Fungsi Departemen Agama
Dalam hal pembinaan, pengawasan dan pengembangan pendidikan agama di sekolah dan madrasah,  tidak bisa dilepaskan adanya dari peraturan dan perundang-undangan yang ada. Selain UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka Depag berpedoman kepada KMA No. 373 tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota yakni pada pasal 2 dijelaskan tugas pokok dan fungsinya sebagai berikut : “ Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi mempunyai tugas melaksanakan tugas pokok dan fungsi Departemen Agama dalam wilayah Propinsi berdasarkan kebijakan Menteri Agama dan peraturan perundang-undangan.”
Adapun tugas dan fungsi bidang yang mengurusi pendidikan adalah Mapenda sebagaimana disebut dalam pasal 31 yang menjelaskan sebagai berikut : “Bidang Madrasah dan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum mempunyai tugas melaksanakan pelayanan dan bimbingan di Bidang penyelenggaraan pendidikan pada madrasah dan pendidikan agama Islam pada sekolah umum dan serta sekolah luar biasa”. Pada pasal 32 menjelaskan fungsi Bidang Mapenda, pada pasal 33 seksi-seksi yang terdapat dalam Bidang Madrasah dan Pendidikan Agama Islam pada sekolah Umum. Pada pasal 34 penjelasan tugas dari seksi-seksi sebagaimana dimaksud pada pasal 33 diatas. Pada pasal 35 Tugas Pekapontren dan Penamas. Pada pasal 36 penjelasan tugas dari Pekapontren dan Penamas tersebut. Selanjutnya pada pasal 37-50 tentang pembagian seksi dan tugas dari bidang Pekapontren dan Penamas

Strategi Peningkatan mutu melalui Jalur Kultural
Dalam Strategi peningkatan mutu melalui jalur kultural, ada beberapa pendekatan yang bisa digunakan, yakni dengan meyehatkan mesin, mengurangi beban dan terakhir merubah beban menjadi energy.
a.       Menyehatkan mesin
Mesin dalam sebuah organisasi pendidikan dapat berwujud budaya organisasi dan proses organisasi. Madrasah yang sehat adalah madrasah yang memiliki budaya organisasi yang positif dan proses organisasi yang efektif. Dalam mewujudkan budaya madrasah yang baru, diperlukan konsulidasi ideal berupa reaktualisasi doktrin-doktrin agama yang selama ini mengalami pendakalan, pembelokan dan penyempitan makna, konsep tentang ikhlas, jihad, dan amal shaleh perlu di reaktualisasikan maknanya dan dijadikan core values dalam penyelengaraan pendidikan madrasah. Dengan landasan nilai-nilai fundamental yang kokoh, akan menjadikan madrasah memiliki modal sosial ( Social Capital ) yang sangat berharga dalam rangka membangun rasa saling percaya (trust), kasih sayang, keadilan, komitmen dedikasi, kesungguhan, kerja keras, persaudaraan dan persatuan. Dengan social capital yanng baik, akan memunculkan semangat berprestasi yang tinggi, terhindar dari konflik yang sering kali menjadi “hama” bagi perkembangan madrasah. Lembaga pendidikan madrasah juga perlu tampil dengan nama, semangat, semboyan dan performen baru. Misalnya dengan nama baru seperti MI Putra Harapan, MTs Tunas Bangsa, MA Insan Mulia, dan lain sebagainnya.
b. Kurangi Beban
            Madrasah memang sarat beban, apabila dilihat dari missi, muatan kurikulum, dan beban-beban sosial, budaya dan politik penyelenggarakan kurikulum madrasah perlu diformat sedemikian rupa agar tidak terpaku pada formalitas yang padat jam tetapi tidak padat misi dan isi. Orientasi pendidikan tidak lagi pada “Having” tetapi “Being”, bukan “Schooling” tetapi “Learning” dan bukan “ Transfer of knowledge” tetapi membangun jiwa melalui “transfer of Values” lewat keteladanan. Metode belajar yang mengarah pada “Quantum Learning” dan “Study Fun” dan sebagainya perlu dikritisi. Budaya belajar Bangsa Indonesia tidak harus mencontoh model Eropa seperti bermain sambil belajar. Guru hanya sebagai fasilitator, menekankan proses dari pada hasil, mengutamakan alat belajar dan lain sebagainya. Budaya Belajar Bangsa Indonesia banyak berhasil membesarkan orang justru yang mengembangkan sikap kesungguhan, prihatin (tirakat), Ihklas (nrimo, qonaah), tekun dan sabar, siswa madrasah harus di didik menjadi generasi yang tangguh memiliki jiwa pejuang, seperti sikap yang tekun, ulet, sabar, tahan uji, konsisten dan pekerja keras. Multiple Intelligence (Intelectual, emotional,dan spiritual quotient) siswa dapat dikembangkan secara maksimal justru melalui pergumulan yang keras, bukan sambil bermain atau dalam suasana fun semata.
c. Merubah Beban Menjadi Energi
            Pengelola Madrasah baik pimpinan maupun gurunya haruslah menjadi orang yang cerdik, lincah dan kreatif, pemimpin madrasah tidak sepatutnya hanya berperan sebagai Administrator, “Pilot” atau “Masinis” yang hanya menjalankan tugas sesuai dengan ketentuan, melainkan harus diibaratkan sebagi “Sopir”, “Pendaki” atau “ Entrepreneur”  yang senantiasa berupaya menciptakan nilai tambah dengan cara mendayagunakan kekuatan untuk menutupi kelemahan, mencari dan memanfaatkan peluang yang ada, dan merubah ancaman menjadi tantangan (Analisis Swot). Keterbatasan sumber daya (manusia, material, finansial, organisasi, teknologi dan informasi) yang dimiliki madrasah bagi pimpinan yang berjiwa entrepreneur dan pendaki (climber) justru menjadi cambuk, lahan perjuangan (jihad) dan amal shaleh. Ibaratnya Beban berat disebuah mobil dapat dirubah menjadi energi apabila sopirnya cerdas dalam memilih jalan yang menurun. Intinya cara merubah beban menjadi energi adalah dengan cara berfikir dan berjiwa besar, positif, kreatif dan tidak kenal menyerah. Memang salah satu karakteristik madrasah adalah berkembang secara evolutif, dimulai dengan sebuah pengajian di musholla/masjid kemudian menjadi madrasah diniah dan akhirnya menjadi madrasah. Proses evolusi madrasah selama ini ada yang berlangsung dengan baik dan ada yang jalan di tempat, tetapi sangat yang jarang yang mati. semua itu tergantung pada  orang-orang yang ada di dalamnya. (Dr.Tobroni; 4;08 Percepatan Pendidikan).

Oleh: Hariyono, M.Si

Tidak ada komentar:

Posting Komentar