Pembicaraan tentang hukum tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang
keadilan. Keadilan merupakan nilai ideal dari setiap pembuatan maupun
pelaksanaan hokum. Keadilan sampai saat ini masih dianggap sebagai konsep yang
abstrak dan dipahami tanpa batasan yang jelas. Pertanyaanya, bagaimana dengan
hokum Islam?. Apakah dalam pembangunan hukum Islam mengenal konsep keadilan?
Ibnu al-Qayyim Al-Jauziyah -ahli ushul fiqh mazhab Hanbali,(1994; 121) merumuskan sebuah gagasan
menarik tentang keadilan ini, yakni bahwa syariah adalah keadilan dan keadilan
adalah syariah. Ibnu al-Qayyim menolak pemilahan wilayah antara syariah dan
siyasah. Menurut Ibn al-Qayyim pemilahan wilayah tersebut bisa dipandang tidak
tepat karena syariah dan siyasah adalah dua entitas yang tidak
bisa dipisahkan secara hitam-putih. Ibnu al-Qayyim menyetujui pemilahan antara
keadilan dan kezaliman. Keadilan adalah bagian dari atau bahkan syariah itu
sendiri, sedangkan kezaliman bukan termasuk bagian syariah.
Sejalan dengan gagasan keadilan di bidang hukum ini, pun dalam bidang
politik dan keilmuan dalam
Islam keadilan dijadikan nilai ideal. Salah satu kriteria pemimpin yang ideal
dalam konsepsi politik Islam misalnya adalah harus adil. Meskipun pada kondisi
yang darurat, kriteria keadilan itu bisa diterapkan lebih luas (AlTahanawi.
1972. h. 33-34.)
Diskursus mengenai keadilan dapat dilacak pada sumber-sumber hukum Islam
sendiri, yaitu Al-Qur'an dan hadits. Banyak ayat-ayat Al-Qur'an dalam berbagai
kesempatan memerintahkan umatnya untuk berbuat adil. Surat al-Nisa' ayat 58
menyatakan bahwa dalam mengadili dua orang yang bersengketa harus dilakukan
secara adil. Surat al-Nisa' ayat 03 menyatakan bahwa syarat monogami
dianjurkan apabila laki-laki khawatir tidak mampu berbuat adil. Surat al-Maidah
ayat 6 memerintahkan orang-orang mukmin berbuat adil karena adil lebih dekat
pada ketaqwaan.
Tulisan ini berupaya untuk mendefinisikan keadilan dalam kerangka hukum,
khususnya hukum Islam. Urgensi menjelaskan keadilan dalam kerangka hukum sangat
diperlukan karena keadilan dalam hukum seringkali dipahami dalam kerangka
kepentingan tertentu. Sebagai contoh orang yang kalah di pengadilan akan
berpikir bahwa keputusan hakim salah atau meragukan, sementara pihak yang
menang akan memandang bahwa putusan hakim sangatlah adil. Jebakan kepentingan
ini sering kali mengaburkan arti
keadilan. Sebagai contoh orang yang selalu ditimpa musibah akan berpikir bahwa
Tuhan tidak bersikap adil kepadanya, tetapi ketika ia mendapatkan pertolonganNya
seseorang baru berpikir bahwa Tuhan benar-benar adil. Dengan demikian,
pemaknaan keadilan sangat rawan dari kepentingan pribadi. Wajar jika sebagian
ahli hukum berpendapat bahwa hukum bukan keadilan, yang patut diperhitungkan
karena konsepsi keadilan hanya mungkin didefinisikan dalam kerangka hukum. (W. Paton,
1955. h. 79.)
Gagasan Keadilan dalam Lintasan Sejarah
Keadilan adalah sebuah istilah abstrak. Mamaknai dengan benar konsep
keadilan bukanlah upaya yang mudah. Hal inilah yang diungkapkan John Dewey
bahwa keadilan tidak dapat digambarkan dalam pengertian yang pasti. Ia berpendapat
bahwa keadilan umumnya dipandang sebagai kebajikan yang tidak berubah, akan
tetapi persaingan yang merugikan adalah tidak adil dan tidak fair. (Muhammad Muslehuddin. 1985. h. 99.)
Sebenarnya upaya pemaknaan terhadap istilah keadilan ini telah dilakukan oleh
para ahli semenjak lama. Plato memaknai keadilan sebagai kebajikan tertinggi
yang tidak dapat dijelaskan melalui alasan rasional, melainkan terdiri atas
pelaksanaan individu masing-masing terhadap tugas yang bebankan kepada mereka.
Keadilan versi Plato adalah keadilan yang dilekatkan kepada status dan kelas di
masyarakat. Individu harus melaksanakan tugas dan kewajiban yang dibebankan
oleh posisi dia dalam konteks sosial. Keadilan Plato menekankan kepada
moralitas yang mendukung status quo. Sebaliknya, Aristoteles memberikan
definisi keadilan dalam perspektif yang berbeda. Aristoteles menekankan kepada
arti penting hukum. Aristoteles melihat keadilan dari sudut pandang hukum dan
keperluan terhadap prinsip kebaikan. Konsepsi keadilan menurut Aristoteles
berkaitan dengan konsepsinya mengenai manusia sebagai zoon politicon
(makhluk politis). Manusia sebagai zoonpiliticon harus aktif dalam
kegiatan-kegiatan politik. Ketaatan tertinggi manusia sebagai anggota politis
adalah ketaatan terhadap hukum politis. Keutamaan itulah yang disebut
Aristoteles sebagai keadilan. Keadilan hukum dalam pandangan Aristoteles
terkait dengan keadilan umum. (Theo Huijbers. 1988. h. 28.29.)
Menurut Paton, keadilan dan hukum harus dipisahkan karena
keduanya memiliki konsepsi yang berbeda. Hukumlah yang benar-benar memiliki
kekuatan, sedangkan keadilan adalah ideal yang terdiri atas sifat alami moral
manusia. Konsep keadilan berkembang sejalan dengan proses perkembangan
manusia, tetapi konsep tersebut tidak terbatas pada apa yang terjadi di dunia
nyata. Keadilan implisit dalam hukum dan menyediakan test eksternal untuk
menilai hukum. Hukum merupakan sarana untuk mencapai keadilan. (Ibid. h. 79)
Meskipun demikian, pemahaman mengenai keadilan adalah sebuah persoalan
tersendiri bagi para pemikir muslim. Sebagian pemikir muslim mendefinisikan
keadilan dalam kerangka filsafat Aristotelian. Keadilan dipahami sebagai
pengejawantahan keutamaan yang tertinggi. Keadilan adalah keutamaan yang ada
dalam jiwa manusia setelah kualitas-kualitas utama lain, yaitu kebijaksanaan (hikmah),
iffah (kesucian diri), dan syajaah (keberanian), itu terpenuhi.(lbnu
Maskawaih. 1329 H. h. 10-24)
Upaya menjabarkan makna keadilan yang dilakukan Maskawaih menunjukkan
betapa nilai ideal keadilan yang ada dalam Al-Qur'an masih sangat umum sehingga
memungkinkan berbagai upaya penjabaran praktis. Maskawaih mencoba mendefinisikan
keadilan dalam kerangka filsafat etika Aristotelian. Barangkali juga,
ulama-ulama lain akan mendefinisikan keadilan dalam kerangka yang lain.
Islam dan Keadilan
Gagasan keadilan dalam Islam dapat dijumpai
dalam Al-Qur'an dan sunnah. Al-Qur'an mengandung beberapa istilah yang dekat
dengan istilah keadilan, yaitu alqisth, al-adl, dan mizan.
Quraish Shihab memberikan penjelasan bahwa kata al-ad1 berarti
menundukkan dua belah pihak dalam posisi yang sama. Kata al-qisth
artinya bagian yang patut dan wajar dan memiliki pengertian yang lebih luas
dibandingkan dengan al-adl. Kata mizan berarti timbangan dan juga
digunakan untuk menyebut keadilan. (Quraish Shihab. 1996. 111-112.)
Kata adl merujuk kepada keadilan dalam pengertian
balasan atau retribusi yang sama. Jika ada orang yang tidak melaksanakan puasa,
maka ia harus mengganti pada hari lain. Sementara itu, kata qisth
merujuk kepada kesamaan (equality) dalam pengertian pemberlakuan aturan kepada
orang-orang yang bukan warga negara. Pengertian keadilan dalam kata qisth
mengandung konflik kepentingan, sementara adl mengandung keseimbangan
antara kepentingan antar kelompok. Mizan dalam Al-Quran merujuk kepada
pengertian keseimbangan (balance). (Manzoor Ahmad. 1986. h. 119.)
Muhammad Thahir Azary menjabarkan pengertian
keadilan dalam Al-Qur'an dalam ranah politik. Penjelasannya mengenai ayat-ayat
keadilan dalam Al-Qur'an didasarkan kerangka bahwa keadilan menjadi prinsip
ketiga dalam nomokrasi. Keadilan dalam Islam menurut Azhary identik dengan
kebenaran. Kebenaran dalam konteks ajaran Islam dihubungkan dengan Allah
sebagai sumber kebenaran, yang dalam Al-Qur'an disebut dengan al-haqq.
Kata adl dalam Al-Qur'an menurut Azhary secara bahasa berarti sama. Kata
adl menunjukkan keseimbangan atau posisi tengah. (Muhammad Tahir Azhary. 1992. h. 65-66.)
Keadilan dalam nomokrasi Islam menurut Azhary terkait dengan
fungsi kekuasaan negara. Negara atau pemerintah sebagai pemegang kekuasaan
memiliki tiga kewajiban pokok. Pertama,
kewajiban menerapkan kekuasaan negara dengan adil, jujur, dan bijaksana. Kedua, kewajiban menerapkan kekuasaan
kehakiman dengan seadil-adilnya Ketiga,
kewajiban penyelenggara negara untuk mewujudkan tujuan masyarakat yang adil,
makmur, dan sejahtera di bawah keridhaan Allah. Keadilan dalam perspektif
Azhary bersifat transenden dan menegaskan kembali posisi manusia sebagai
makhluk. Keadilan Islam bersifat teosentrik karena bertumpu kepada Tuhan.[i] (Muhammad
Tahir Azhary. h. 89-90.)
Quraish Shihab mencoba memetakan kembali pengertian keadilan
yang dipahami oleh para ulama. Quraisy menemukan empat pengertian keadilan yang
dipahami oleh para pakar muslim. Pertama,
keadilan yang berarti sama yang didasarkan atas surat al-Nisa' ayat 4. Kata
adil dalam keadilan dalam pengertian pertama tersebut berkenaan dengan sikap
hakim dalam proses pengambilan keputusan. Kedua,
keadilan berarti seimbang, yang identik dengan proporsional dalam segala hal. Ketiga, adil juga berarti memberikan
perhatian kepada hak-hak individu dan memberikan hak-hak kepada pemiliknya.
Keadilan dalam pengertian ketiga itu berkaitan dengan konteks sosial. Keadilan
dalam pengertian keempat berarti memelihara kewajaran dan kelangsungan
eksistensi, dimana adil ini dinisbatkan kepada Allah (Quraish Shihab. Op.Cit.h 114-116)
Keadilan dalam Hukum Islam
Keadilan dalam hukum Islam selalu dikaitkan dengan aspek
Ketuhanan, yaitu dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan dan antara manusia
dengan manusia dalam perspektif wahyu. Penekanan terhadap konsep keadilan dalam
hukum Islam tampak dalam tulisan-tulisan Ibnu Qayyim al-Jawziyyah. Ibnu Qayyim
membicarakan keadilan dalam konteks politik hukum (siyasah syar'iyyah). Konteks
itu menjadi perhatian di kalangan ulama Islam dengan adanya kesadaran bahwa
penguasa dalam taraf tertentu memiliki wewenang penjabaran dan penambahan
aturan hukum Islam sepanjang sesuai dengan jiwa syariah. (Noel J. Coulson.
1991. h. 129.)
Ibnu al-Qayyim membagi keputusan-keputusan
hukum yang dihasilkan oleh kekuasaan politik (siyasah) menjadi dua,
yaitu adil dan zalim. Keputusan yang adil adalah syariah. Ibnu al-Qayyim
menolak pembedaan antara siyasah dan syariah, melainkan
mengajukan cara pembedaan lain, yaitu adil dan zalim. Adil adalah syariah,
sedangkan zhalim adalah antitesis terhadap syariah. Pandangan Ibnu al-Qayyim
dapat dipahami dalam latar belakang jurisprudensi Islam. (Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah. 1994. h. 121.)
Yurisprudensi Islam menghasilkan satu konsep besar hukum yang
memayungi dan memberi pengertian terhadap pola kerja hukum Islam. Konsep
tersebut adalah maslahah. Istilah maslahah dalam kajian hukum
Islam dipakai dalam dua pengertian, yaitu maslahah mursalah dan maslahah
sebagai almaqasid al-syariyyah. Maslahah menurut
pengertian pertama (maslahah mursalah) adalah salah satu upaya menggali
hukum dengan didasarkan kepada pertimbangan kebaikan umum. Maslahah mursalah
sebagai sebuah metode penggalian hukum mula-mula diasosiasikan dengan madhhab
Maliki, tetapi pada perkembangannya metode maslahah digunakan secara luas untuk
memecahkan masalah-masalah yang tidak ada petunjuk ekplisitnya dari Al-Qur'an
dan sunnah.
Pengertian maslahah sebagai maqasid al-syari’ah dikembangkan
oleh al-Juwayni, yang kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh al-Ghazali dan
mencapai puncaknya dalam pemikiran al-Syatibi. Maslahah dalam pengertian maqasid
al-syari’ah menekankan kepada tujuan-tujuan esensial yang ingin dicapai
oleh hukum Islam. Tujuan-tujuan esensial syariah tersebut
diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu memelihara kepentingan manusia yang
bersifat mendasar (dlarury), sekunder (hajjy), dan suplementer (tahsiny).
Kepentingan manusia yang bersifat mendasar tercakup dalam al-kulliyah alkhamsah,
yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara keturunan/kehormatan,
memelihara akal, dan memelihara jiwa. Rumusan di atas dipandang berasal dari inti-sari
ajaran hukum Islam. (Muhammad Khalid Masud. h. 151.152.)
Hubungan antara maslahah dan keadilan memang tidak mudah
dipahami apabila aspek tersebut tidak dihubungankan melalui aspek teologis dalam
membangun paradigma hukum Islam.
Kalangan Mu'tazilah mengajukan kebaikan umum sebagai inti ajaran hukum Islam,
yang di dalamnya mengandung nilai keadilan dan maslahah sekaligus. (Ibid. h. 131.) Akan
tetapi, meskipun diakui sebagai sesuatu yang terkandung dalam hukum Islam,
keadilan sebagai sebuah pembahasan hukum akan sulit dijumpai dalam kitab-kitab
ushul fiqh. Ushul fiqh (yurisprudensi Islam) memberikan petunjuk mengenai
hubungan Tuhan dengan manusia, posisi Tuhan sebagai pemberi hukum dan berbagai
kaedah yang menjabarkan bagaimana kehendak Tuhan dalam Al-Qur'an dan penjelasan
Nabi dipahami.
Keadilan dalam penjelasan di atas termasuk dalam kategori
hukum substantif. Keadilan dalam hukum Islam tidak bisa dilepaskan dari hukum
dan kebenaran. Keadilan didefinisikan dalam sudut pandang teologis, dimana
hubungan Tuhan dengan manusia bersifat vertikal, yaitu sebagaimana hubungan
antara hamba dengan Tuan/majikan. Kekuasaan hukum mutlak di tangan Tuhan karena
satu-satunya hakim (pembuat hukum) yang diakui dalam hukum Islam hanyalah
Allah. Allah sebagai Maha Adil dan Maha Benar lebih mengetahui kebenaran dan
keadilan hakiki. Manusia harus selalu menemukan keadilan dan kebenaran yang
dianugerahkan Tuhan melalui proses ijtihad. Ijtihad melibatkan upaya penalaran terhadap
ukuran-ukuran kebenaran yang ditetapkan oleh Tuhan. Ra’yu (ijma’, qiyas,
istihsan dll) adalah salah satu bentuk ijtihad dengan menggunakan penalaran
akal, meskipun Nash (al-Qur’an dan
Hadist) tetap menjadi referensi dan rujukan. Prinsip keadilan meniscayakan
penggunaan rasio untuk menemukan satu kasus yang tidak diterangkan oleh Firman
Tuhan atau sabda Nabi. Dengan cara itu, hukum Islam berkembang dan menjangkau
kasus-kasus hukum yang lebih luas melalui metode ijtihad.
Teori-teori hukum Islam memang tidak memilah
secara tegas antara hukum positif dan moralitas.(Noel J. Coulson.: iii ) Kepercayaan
kepada Tuhan mengandung unsur hukum, berupa perintah dan larangan yang
terejawantah dalam al-ahkam al-khamsah. (Abdul Wahhab Khallaf. 1978. h.
105-112.) Keadilan
dapat diketahui melalui kehendak Tuhan karena Tuhanlah sumber kebenaran.
Gagasan keadilan dalam hukum Islam merepresentasikan pandangan yang mengaitkan
keadilan dengan kebenaran.
Kebenaran adalah representasi dari kehendak Tuhan kepada
manusia yang dijabarkan melalui al-ahkam al-khamsah, yaitu wajib,
sunnah, mubah, makruh, dan haram. Keadilan substansif dalam hukum Islam selalu
dikaitkan dengan kehendak pembuat syara' (Allah) terhadap manusia, baik
kehendak tersebut dipahami melalui deduksi logis (al-Kaidah al-Ushuliyah al-Lughawiyyah), dengan metode
operasionalnya diantaranya qiyas, maslahah al-mursalah, istihsan dll, atau deduksi dari kaedah-kaedah
umum syariah (al-Kaidah
al-Ushuliyyah al-Tasyri’’iyah) dengan
operasionalnya yaitu maqashid al-syari’ah.
Ibnu al-Qayyim menegaskan kembali secara
teoritis tumpang tindih kebenaran hukum dengan keadilan. Ia menyamakan antara
syariat dengan keadilan. Keputusan otoritas politik (siyasah) ia pandang
memiliki legitimasi sebagaimana syariah apabila mengandung nilai-nilai
keadilan karena syariah adalah representasi keadilan. Di sisi lain, keadilan
yang digagas Ibnu Qayyim mengacu pula kepada upaya hakim untuk menemukan
kebenaran dan memberikan hukum bilamana ada pelanggaran yang tidak ada aturan
tegasnya secara formal. Ia menekankan agar hakim mampu menangkap kebenaran,
meskipun dalam kondisi minim bukti dan minim aturan formal.(Ibnu Qayyim. 1961.h.11)
Upaya hakim dalam menemukan kebenaran dalam tataran praktis
adalah bentuk dari keadilan prosedural. Keadilan prosedural adalah aspek
ekternal hukum, tempat keadilan substantif direalisasikan. Tanpa adanya
keadilan secara prosedural, keadilan substantif hanya akan menjadi teori-teori
yang tidak menyentuh realitas masyarakat. (Majid Khaddouri. h.144.) Peran individu dan
lembaga menjadi sangat menentukan dalam upaya realisasi keadilan tersebut.
Individu mencakup orang-orang yang memiliki otoritas untuk melaksanakan hukum.
Dalam sejarah Islam, individu tersebut meliputi para hakim dan penguasa. (Noel J. Coulson.
1969. h. 51.)
Keadilan dalam konteks pelaksana hukum meniscayakan adanya
kualifikasi untuk menjamin kapasitas dan legitimasi sosial bagi hakim,
penguasa, atau pemberi sanksi di pengadilan. Keadilan dalam konteks pelaku
(orang) menekankan kredibilitas dan kepercayaan orang untuk dapat melakukan
tugas-tugas hakim, penguasa, dan persanksian di atas. Orang yang adil adalah
orang yang jauh dari dosa-dosa besar dan tidak membiasakan melakukan dosa-dosa
kecil, menjaga keperwiraan (muruah), dan menjaga kesucian diri. Untuk
terlibat dalam dunia keadilan, pelaku terlebih dahulu harus memiliki
kualifikasi moral dan kepribadian tertentu. Kualifikasi tersebut berangkat dari
stabilitas mental dan kemampuan menampilkan diri sebagai sosok yang kredibel.(Lawrence
Rosen.. h. 155-157.)
Penjelasan Rosen terhadap keadilan dalam hukum
Islam adalah penjelasan terbaik terhadap keadilan dalam praktek hukum Islam.
Hasil penelitian Rosen di Maroko dan kajiannya terhadap literatur-literatur
hukum Islam membuatnya menyimpulkan bahwa keadilan dalam masyarakat muslim
dipahami dalam tiga pengertian. Pertama,
hubungan antara Tuhan dan manusia bersifat resiprok, keadilan ada ketika
hubungan timbal balik membimbing semua interaksi. Kedua, keadilan merupakan proses dan hasil dari penyamaan
entitas-entitas yang sama. Keadilan sebagai penyamaan mengisyaratkan pemahaman
bahwa nalar dan pengalaman harus digunakan untuk mengkalkulasi
persamaan-persamaan. Proses semacam itu tampak dalam qiyas.(Abdul
Wahhab Khallaf. h. 52.) Ketiga, karena hubungan-hubungan manusia bersifat
kompleks, keadilan harus dipahami melalui undang-undangnya yang beragam, bukan
sebagai sebuah prinsip yang abstrak. (Lawrence Rosen. h. 155.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar