BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada
zaman dahulu ketika tekhnologi belum dikenal oleh masyarakat umum secara luas
setiap penyakit yang diderita oleh manusia sering sekali dikait-kaitkan dengan
hal-hal yang berbau spiritual dan alam gaib, setiap penyakit dihubung-hubungkan
dengan gangguan makhluk halus, oleh karena itu orang yang sakit lebih memilih
berobat kedukun atau orang pintar yang dianggap bisa berkomunikasi langsung
dengan makhluk halus ketimbang berobat ke tabib yang mengerti tentang jenis
penyakit berdasarkan ilmu perobatan.
Pergeseran
zaman dan kemajuan tekhnologi tidak dapat terelakkan lagi, saat ini penyakit
sudah dapat dilihat dan diobati dengan obat-obatan yang bagus dengan
menggunakan metode pengolahan canggih, perkembangan ilmu pengetahuan dapat
lebih menspesifikkan penyakit-penyakit tersebut. Ada penyakit yang bersumber
dari virus, bakteri atau baksil-baksil sehingga untuk mengobatinya membutuhkan
obat-obatan medis, tetapi ada juga penyakit yang bersumber dari jiwa atau hati
suatu individu, jadi secara fisik individu tersebut tidak terkena virus,
bakteri atau baksil-baksil, namun pada kenyataannya individu tersebut sakit.
Penyakit
tersebutlah yang dinamakan dengan penyakit hati atau penyakit mental, untuk
mengatasi penyakit tersebut diperlukan menejemen hati atau mental yang baik
sehingga dapat membentuk kesehatan mental yang berimbas pada kesehatan secara
fisik individu tersebut.
Sejak
awal-awal abad kesembilan belas boleh dikatakan para ahli kedokteran mulai
menyadari akan adanya hubungan antara penyakit dengan kondisi psikis manusia.
Hubungan timbal balik ini menyebabkan manusia dapat menderita gangguan fisik
yang disebabkan oleh gangguan mental (Somapsikotis) dan sebaliknya gangguan
mental dapat menyebabkan penyakit fisik (Psikosomatik). Dan di antara factor
mental yang diidentifikasikan sebagai potensial dapat menimbulakan
gejala-gejala tersebut adalah keyakinan agam. Hal ini antara lain disebakan
sebagian besar dokter fisik melihat bahwa penyakit mental (mental illness) sama
sekali tak ada hubungannya dengan penyembuhan medis, serta berbagai penyembuh
penderita penyakit mental dengan menggunakan pendekatan agama.
B.
Pembatasan Masalah
Dari
latar belakang diatas, selanjutnya timbul pertanyaan-pertanyaan, yang menjadi
batasan dalam membuat dasar penyusunan makalah ini, yaitu:
1. Sejauh manakah agama memiliki hubungan
dengan kesehatan mental?
2. Lalu apa sajakah kontribusi
pendekatan agama dalam kesehatan mental?
C.
Tujuan
Berdasarkan
permasalah yang timbul, maka makalah ini bertujuan untuk membahas mengenai
hubungan antara agama dengan kesehatan mental dan kontribusi pendekatan agama
dalam kesehatan mental.
BAB II
AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL
A.
Pengertian Agama dan Kesehatan
Mental
Pengertian
agama menurut J.H. Leuba, agama adalah cara bertingkah laku, sebagai system
kepercayaan atau sebagai emosi yang bercorak khusus. Sedangkan definisi agama
menurut Thouless adalah hubungan praktis yang dirasakan dengan apa yang dia
percayai sebai mahluk atausebagai wujud yang lebih tinggi dari manusia.[1]
Kesehatan
mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik
berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial).
Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit jiwa.[2]
Mental
yang sehat tidak akan mudah terganggu oleh Stressor (Penyebab terjadinya stres)
orang yang memiliki mental sehat berarti mampu menahan diri dari
tekanan-tekanan yang datang dari dirinya sendiri dan lingkungannya. Noto
Soedirdjo, menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang memilki kesehatan mental
adalah Memilki kemampuan diri untuk bertahan dari tekanan-tekanan yang datang
dari lingkungannya. Sedangkan menurut Clausen Karentanan (Susceptibility) Keberadaan
seseorang terhadap stressor berbeda-beda karena faktor genetic, proses belajar
dan budaya yang ada dilingkungannya, juga intensitas stressor yang diterima
oleh seseorang dengan orang lain juga berbeda.
B.
Manusia dan Agama
Psikologi
agama merupakan salah satu bukti adanya perhatian khusus para ahli pskologi
terhadap peran agama dalam kehidupan dan kejiwaan manusia. Pendapat yang paling
ekstrem pun tentang hal itu masih menunjukkan batapa agama sudah dinilai
sebagai bagian dari kehidupan pribadi manusia yang erat kaitannya dengan
gejala-gejala psikologis. Dalam beberapa bukunya Sigmun Freud yang dikenal
sebagai pengembang psikoanalisis mencoba mengungkapkan hal itu. Agama menurut
Freud tampak pada prilaku manusia sebagai sebagai simbolisasi dari kebencian
terhadap ayah yang direfleksi dalam bentuk rasa takut kepada Tuhan.[3]
Secara
psikologis, agama adalah ilusi manusia. Manusia lari kepada agama karena rasa
ketidak berdayaan menghadapi bencana. Dengan demikian, segala bentuk prilaku
keagamaan merupakan prilaku manusia yang timbul dari dorongan agar dirinya
terhinadar bahaya dan dapat memberikan rasa aman. Untuk keperluan itu manusia
menciptakan Tuhan dalam pemikirannya.
Lain
halnya dengan penganut Behaviorisme. Skiner, salah seorang tokoh Behaviorisme
melihat agama sebagai isme social yang lahir dari dua faktor penguat.
Menurutnya kegiatan keagamaan menjadi factor penguat sebagai prilaku yang
meredakan ketegangan. Lembaga-lembaga social termasuk lembaga keagamaan,
bertugas menjaga dan mempertahankan perilaku atau kebiasaan masyarakat. Manusia
menanggapi tuntutan yang terkandung dalam lembaga itu dan ikut melestarikan
lewat cara mengikuti aturan-aturan yang telah baku.[4]
Prilaku
keagamaan menurut pandangan Behaviorisme erat kaitannya dengan prinsip
reinforcement (reward and punishment). Manusia berprilaku agama karena didorong
oleh rangsangan hukuman dan hadiah. (pahala). Manusia hanyalah sebuah robot
yang bergerak secara mekanis menurut pemberian hukuman dan hadiah.
Agama
sebagai fitrah manusia telah diinformasikan oleh Alquran yang artinya : Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); tetaplah atsa fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahuinya. (QS. Ar Ruum:30)
Dalam
Alquran dan terjemahannya (Departemen Agama) dijelaskan bahwa fitrah Allah
maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama
yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidak
wajar. Mereka tidak beragama tauhid hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.[5]
C.
Kesehatan Mental dan Gangguan Mental
Pada
abad 17 kondisi suatu pasien yang sakit hanya diidentifikasi dengan medis,
namun pada perkembangannya pada abad 19 para ahli kedokteran menyadari bahwa
adanya hubungan antara penyakit dengan kondisi dan psikis manusia. Hubungan
timbal balik ini menyebabkan manusia menderita gangguan fisik yang disebabkan
oleh gangguan mental (Somapsikotis) dan sebaliknya gangguan mental dapat
menyebabkan penyakit fisik (Psikomatik).
Memasuki
abad 19 konsep kesehatan mental mulai berkembang dengan pesatnya namun apabila
ditinjau lebih mendalam teori-teori yang berkembang tentang kesehatan mental
masih bersifat sekuler, pusat perhatian dan kajian dari kesehatan mental
tersebut adalah kehidupan di dunia, pribadi yang sehat dalam menghadapi masalah
dan menjalani kehidupan hanya berorientasi pada konsep sekarang ini dan disini,
tanpa memikirkan adanya hubungan antara masa lalu, masa kini dan masa yang akan
datang.
Hal
ini jauh berbeda dengan konsep kesehatan berlandaskan agama yang memiliki
konsep jangka panjang dan tidak hanya berorientasi pada masa kini sekarang
serta disini, agama dapat memberi dampak yang cukup berarti dalam kehidupan
manusia, termasuk terhadap kesehatan.
Solusi
terbaik untuk dapat mengatasi masalah-masalah kesehatan mental adalah dengan
mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, kesehatan mental
seseorang dapat ditandai dengan kemampuan orang tersebut dalam penyesuaian diri
dengan lingkungannya, mampu mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya
sendiri semaksimal mungkin untuk menggapai ridho Allah SWT, serta dengan
mengembangkan seluruh aspek kecerdasan, baik kesehatan spiritual, emosi maupun
kecerdasan intelektual.
Hal
ini dapat ditarik kesimpulan karena pada dasarnya hidup adalah proses
penyesuaian diri terhadap seluruh aspek kehidupan, orang yang tidak mampu
beradaptasi dengan lingkungannya akan gagal dalam menjalani kehidupannya.
Manusia diciptakan untuk hidup bersama, bermasyarakat, saling membutuhkan satu
sama lain dan selalu berinteraksi, hal ini sesuai dengan konsep sosiologi
modern yaitu manusia sebagai makhluk Zoon Politicon.
Gangguan
mental dapat dikatakan sebagai perilaku abnormal atau perilaku yang menyimpang
dari norma-norma yang berlaku dimasyarakat, perilaku tersebut baik yang berupa
pikiran, perasaan maupun tindakan. Stress, depresi dan alkoholik tergolong
sebagai gangguan mental karena adanya penyimpangan, hal ini dapat disimpulkan
bahwa gangguan mental memiliki titik kunci yaitu menurunnya fungsi mental dan
berpengaruhnya pada ketidak wajaran dalam berperilaku ini sesuai dengan
Al-Quran yang artinya:
Artinya: Dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah Allah
penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. (QS. Al-Baqoroh 2:10).
Adapun
gangguan mental yang dijelaskan oleh A. Scott, meliputi beberapa hal :
1.
Salah dalam penyesuaian sosial, orang yang mengalami gangguan mental
perilakunya bertentangan dengan kelompok dimana dia ada.
2.
Ketidak bahagiaan secara subyektif
3.
Kegagalan beradaptasi dengan lingkungan
4.
Sebagian penderita gangguan mental menerima pengobatan psikiatris dirumah
sakit, namun ada sebagian yang tidak mendapat pengobatan tersebut.
Seseorang
yang gagal dalam beradaptasi secara positif dengan lingkungannya dikatakan
mengalami gangguan mental. Proses adaptif ini berbeda dengan penyesuaian
sosial, karena adaptif lebih aktif dan didasarkan atas kemampuan pribadi
sekaligus melihat konteks sosialnya. Atas dasar pengertian ini tentu tidak
mudah untuk mengukur ada tidaknya gangguan mental pada seseorang, karena selain
harus mengetahui potensi individunya juga harus melihat konteks sosialnya.
D.
Agama dan Kesehatan Mental
Agama
tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran
manusia terhadap agama mungkin karena faktor-faktor tertentu baik yang
disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Namun untuk
menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan kelihatannya
sulit dilakukan, hal ini Karena manusia ternyata memiliki unsur batin yang
cenderung mendorongnya untuk tunduk kepada Zat yang gaib, ketundukan ini
merupakan bagian dari faktor intern manusia dalam psikologi kepribadian
dinamakan pribadi (Self) ataupun hati nurani (conscience of man).
Fitrah
manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT ialah manusia diciptakan mempunyai
naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid,
maka tidak wajar, mereka tidak beragama tauhid itu hanya karena pengaruh
lingkungan, seperti yang ada dalam :
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS Ar Ruum 30:30)
Kesehatan
mental (mental hygiene) adalah ilmu yang meliputi sistem tentang
prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi
kesehatan ruhani. Orang yang sehat mentalnya ialah orang yang dalam ruhani atau
dalam hatinya selalu merasa tenang, aman dan tenteram. Menurut H.C.
Witherington, permasalahan kesehatan mental menyangkut pengetahuan serta
prinsip-prinsip yang terdapat dalam lapangan psikologi, kedokteran, psikiatri,
biologi, sosiologi, dan agama.
Beberapa
temuan dibidang kedokteran dijumpai sejumlah kasus yang membuktikan adanya
hubungan jiwa (psyche) dan badan (soma). Orang yang merasa takut, langsung
kehilangan nafsu makan, atau buang-buang air. Atau dalam keadaan kesal dan
jengkel, perut seseorang terasa menjadi kembung. Dibidang kedokteran dikenal
beberapa macam pengobatan antaralain dengan menggunakan bahan-bahan kimia
tablet, cairan suntik atau obat minum), electro-therapia (sorot sinar, getaran,
arus listrik), chitro practic (pijat), dan lainnya. Selain itu juga dikenal
pengobatan tradisional seperti tusuk jarum (accupunctuur), mandi uap, hingga ke
cara pengobatan perdukunan.[6]
Sejak
berkembang psikoanalisis yang diperkenalkan oleh Dr. Breuer dan S. Freud, orang
mulai mengenal pengobatan dan hipotheria, yaitu pengobatan dengan cara
hipnotis. Dan kemudian dikenal pula adanya istilah psikoterapi atau
autotherapia (penyembuhan diri sendiri) yang dilakukan tanpa menggunakan bantuan
obat-obatan biasa. Sesuai dengan istilahnya, maka psikoterapi dan autotherapia
digunakan untuk menyembuhkan pasien yang menderita penyakit ganguan ruhani
(jiwa). Usaha yang dilakukan untuk mengobati pasien yang menderita penyakit
seperti itu, dalam kasus-kasus tertentu biasanya dihubungkan dengan aspek
keyakinan masing-masing.
Sejumlah
kasus menunjukkan adanya hubungan antara faktor keyakinan dengan kesehatan jiwa
atau mental tampaknya sudah disadari para ilmuan beberapa abad yang lalu.
Misalnya, pernyataan “Carel Gustay Jung” diantara pasien saya setengah baya,
tidak seorang pun yang penyebab penyakit kejiwaannya tidak dilatarbelakangi
oleh aspek agama”.[7]
Mahmud
Abd Al-Qadir seorang ulama ahli biokimia, memberikan bukti akan adanya hubungan
antara keyakinan dengan agama dengan kesehatan jiwa. Pengobatan penyakit batin
melalui bantuan agama telah banyak dipraktikan orang. Dengan adanya gerakan
Christian Science, kenyataan itu diperkuat oleh pengakuan ilmiah pula. Dalam
gerakan ini dilakukan pengobatan pasien melalui kerja sama antar dokter,
psikiater, dan ahli agama (pendeta). Di sini tampak nilai manfaat dari ilmu
jiwa agama. Sejak abad ketujuh hijriyah, Ibn Al-Qayyim Al-Jauzi (691-751)
pernah mengemukakan hal itu. Menurutnya, dokter yang tidak dapat memberikan
pengobatan pasien tanpa memeriksa kejiwaannya dan tidak dapat memberikan
pengobatan dengan berdasarkan perbuatan amal saleh, menghubungkan diri dengan
Allah dan mengingat akan hari akhirat, maka dokter tersebut bukanlah dokter
dalam arti sebenarnya. Ia pada dasarnya hanyalah merupakan seorang calon dokter
yang picik.
Barangkali
hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama
sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri
seseorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang seruapa
itu diduga akan memberi sikap optimis pada diri seseorang sehingga muncul
perasaan positif, seperti rasa bahagia, rasa sengang, puas, sukses, merasa
dicintai, atau rasa aman. Dengan kata lain, kondisi yang demikian menjadi
manusia pada kondisi kodratinya, sesuai dengan fitrah kejadiannya, sehat
jasmani dan ruhani.
E.
Terapi Agama pada Kesehatan Mental
Agama
sebagai terapi kesehatan mental dalam islam sudah ditunjukkan secara jelas
dalam ayat-ayat Al-Quran, di antaranya yang membahas tentang ketenangan dan
kebahagiaan adalah:
1. Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan. (QS An Nahl 16:97)
2. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah
hati menjadi tenteram. (QS Ar Ra’ad 13:28)
Psikoterapi
keagamaan, yaitu terapi yang diberikan dengan kembali mempelajari dan
mengamalkan ajaran agama Islam. Sebagaimana diketahui bahwa ajaran agama Islam
mengandung tuntunan bagaimana kehidupan manusia bebas dari rasa cemas, tegang,
depresi, dan sebagainya. Dalam doa-doa, misalnya, intinya adalah memohon agar
kehidupan manusia diberi ketenangan, kesejahteraan, keselamatan, baik dunia dan
akhirat.[8]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesehatan
mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik
berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial)
Orang yang sehat mental akan senantiasa merasa aman dan bahagia dalam kondisi
apapun, ia juga akan melakukan intropeksi atas segala hal yang dilakukannya
sehingga ia akan mampu mengontrol dan mengendalikan dirinya sendiri.
Agama
tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran
manusia terhadap agama mungkin karena faktor-faktor tertentu baik yang
disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Fitrah manusia
sebagai makhluk ciptaan Allah SWT ialah manusia diciptakan mempunyai naluri
beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka
tidak wajar, mereka tidak beragama tauhid itu hanya karena pengaruh lingkungan.
Hubungan
antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara keyakinan dan
kesehatan jiwa terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu
kekuasaan yang maha tinggi sehingga akan dapat memunculkan perasaan positif
pada kesehatan mental seseorang.
Dari
uraian di atas, yaitu mengenai Agama dan Kesehatan mental dapat kita tarik
kesimpulan:
1. Agama adalah hubungan praktis yang
dirasakan dengan apa yang dia percayai sebai mahluk atausebagai wujud yang
lebih tinggi dari manusia.
2. Kesehatan mental adalah terhindarnya
seseorang dari gangguan dan penyakit jiwa.
3. Hubungan antara kejiwaan dan agama
dalam kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan
jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan
Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang seruapa itu diduga akan memberi sikap
optimis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif, seperti rasa
bahagia, rasa sengang, puas, sukses, merasa dicintai, atau rasa aman. Dengan
kata lain, kondisi yang demikian menjadi manusia pada kondisi kodratinya,
sesuai dengan fitrah kejadiannya, sehat jasmani dan ruhani.
B.
Kritik dan Saran
Pemakalah
menyadari dalam proses pembuatan dan penyampaian makalah terdapat banyak
kesalahan dan kekhilafan, pemakalah sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk pemakalah guna mengingatkan dan memperbaiki setiap kesalahan
yang ada dalam proses pembuatan dan penyampaian makalah. Terakhir tidak lupa
pemakalah mengucapkan rasa syukur kehadirat Allah SWT serta terima kasih kepada
pihak-pihak yang membantu dalam proses pembuatan makalah.
DAFTAR RUJUKAN
Hawari, Dadang.
Alquran : Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. 1995. Yogyakarta: Dana
Bhakti Prima Jasa
Sururin. Ilmu Jiwa
Agama. 2004. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
http://www.hardja-sapoetra.co.cc/2010/12/agama-dan-kesehatan-mental-psikologi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar