PEMBERLAKUAN UU No 22
Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan PP No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Provinsi sebagai Daerah Otonom berpengaruh terhadap sektor
pendidikan. Pemberlakuan otonomi daerah meniscayakan otonomi di sektor pendidikan.
Kemudian Menurut UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 disebutkan “Madrasah memiliki
kedudukan dan peran yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya”. Namun
demikian menurut Umar Yahya, kondisi sekolah Madrasah saat ini disebut sebagai
“Forgotten Community” atau (masyarakat yang terlupakan). Karena pendidikan
Madrasah lebih banyak dikelola oleh manager swasta dengan management yang
terbatas dan tidak profesional. (Ahmad gunaryo, 1;2000, Madrasah di Era
Otonomi). Kenyataan inilah yang menjadi persoalan krusial bagi madrasah. Tampaknya
Keberadaan madrasah di bawah naungan Departemen Agama cukup berpengaruh
terhadap kondisi dan perkembangannya. Pengaruh itu akan tampak jika
dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum yang berada di lingkungan Depdiknas.
Perbandingan Sekolah
Umum yang dibawah Depdiknas dengan madrasah yang berada di bawah Depag RI dapat
ditilik dari kasus kebijakan penganggaran dan pendanaan pemerintah terhadap
subsidi per kapita bagi siswa madrasah dan sekolah umum. Dalam kebijakan ini
tampak kepincangan yang cukup mencolok. Indeks biaya per kapita pendidikan per
siswa di madrasah jauh lebih kecil dibandingkan dengan di sekolah umum. Pada
tahun anggaran 1999/2002 misalnya, biaya pendidikan per siswa madrasah
ibtidaiyah negeri (MIN) Rp 19.000 sedangkan per siswa sekolah dasar negeri Rp
100.000 (1: 5,2), madrasah tsanawiyah negeri (MTsN) per siswa Rp 33.000
sedangkan per siswa SMPN Rp 46.000. (1:1,4).Kepincangan pendanaan subsidi itu
tampak lebih mencolok jika mencakup madrasah/sekolah swasta karena perbandingan
persentase jumlah madrasah negeri/swasta dengan persentase jumlah sekolah
negeri/swasta menunjukkan kondisi yang berkebalikan.
Data Departemen Agama
pada tahun 2000 menunjukkan bahwa MI swasta mencapai 95,2% dan MIN 24,3%, SMPN
berjumlah 44,9% berbanding 55,9% SMP swasta. Pada tingkat selanjutnya, MA
swasta berjumlah 705 berbanding 30% MAN. Adapun SMUN berjumlah 30,5% dibanding
SMU swasta 69,4%. Oleh sebab itu, Kebanyakan
madrasah, terutama swasta, mengalami kesulitan dalam prasarana dan sarana,
keterbatasan jumlah tenaga kependidikan dan kemampuan yang kurang memadai dalam
memberikan imbalan kepada tenaga kependidikannya. Dari sini muncul kecenderungan
pragmatisme dalam penugasan guru mata pelajaran dan tenaga kependidikan lain. (Yudi Hartono MPd, alumnus Program Pascasarjana UNS Solo, Koran, Suara
Merdeka. 05-01.04)
Strategi Peningkatan Mutu
Madrasah Melalui Jalur Struktural
Ditilik
dari sejarahnya, pendidikan Islam sejatinya telah lama eksis di bumi nusantara
ini sejak masuknya Islam di Indonesia. Memperbincangkan Pendidikan Islam, ada tiga
pengertian bagi makna pendidikan islam, yaitu Pertama, Pendidikan Islam
sebagai lembaga, Kedua, Pendidikan Islam yang dimaknai sebagai mata
pelajaran dan Ketiga, Pendidikan
Islam bermakna sebagai nilai-nilai Islami yang mempunyai peran dalam
mencerdaskan bangsa.
Pendidikan
Islam sebagai lembaga adalah diakuinya keberadaan lembaga pendidikan Islam
secara ekplisit, sebagai mata pelajaran berarti di akuinya pendidikan agama
sebagai salah satu mata pelajaran yang wajib diberikan pada tingkat dasar
sampai pada perguruan tinggi, dan Pendidikan Islam sebagai nilai adalah ditemukannya
nilai-nilai Islam dalam sistem pendidikan nasional. Untuk melihat eksistensi
pendidikan Islam dalam ketiga kategori ini dapat ditemukan dalam UU No. 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai berikut :
Pendidikan
Islam sebagai Lembaga baik MI, MTs, MA atau MAK atau Perguruan Tinggi diatur
dalam pasal 17 dan Pendidikan keagamaannya diatur dalam pasal 30. Kemudian Pendidkan
Islam sebagai mata pelajaran dapat dilihat dalam pasal 36. Dan yang terahir,
pendidikan Islam sebagai nilai pada hakikatnya adalah nilai yang membawa nilai
kemaslahatan dan kesejahteraan bagi seluruh makhluk, demokratis, egalitarian,
dan humanis.
Berangkat
dari kenyataan di atas, jelas sekali bahwa eksistensi Pendidikan Agama Islam di
madrasah sangat jelas dan dapat dirasakan. Oleh karena itu dalam rangka
meningkatkan dan memperdayaan dan sekaligus pengembangan Pendidikan Islam
secara terus menerus di antara kebijakan yang dilakukan oleh Departemen Agama
dalam pembinaan Bidang Madrasah dan Pendidikan Agama Islam (Mapenda) dapat
dilihat sebagai berikut :
1.
Pemerataan
pendidikan, diarahkan untuk menunjang penuntasan wajib belajar 9 tahun (Wajar 9
tahun).
2.
Peningkatan
Mutu Pendidikan diseluruh jenjang pendidikan, baik ditingkat MI maupun MTs dan
serta peningkatan kualitas Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum.
3.
Efektifitas
dan efisiensi artinya penyelenggaraan pendidikan benar-benar dapat mencapai
tujuan pendidikan yang maksimal dengan memanfaatkan biaya yang minimal.
Adapun
dalam bentuk pengembangan dan pemberdayaannya adalah dengan terus melakukan
pembinaan dan pelatihan kepada pendidik. Dalam kacamata Departemen Agama
setidaknya ada empat kompetensi pokok yang harus dimiliki oleh seorang tenaga
pendidik. Pertama , kompetensi keilmuan, Kedua, kompetensi
keterampilan mengkomunikasikan ilmunya kepada peserta didik. Ketiga, kompetensi
manjerial dan keempat adalah kompetensi moral akademik dimana ia mesti
menjadi contoh panutan bagi anak didik dan masyarakat.
Peran dan
Fungsi Departemen Agama
Dalam
hal pembinaan, pengawasan dan pengembangan pendidikan agama di sekolah dan
madrasah, tidak bisa dilepaskan adanya
dari peraturan dan perundang-undangan yang ada. Selain UU No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, maka Depag berpedoman kepada KMA No. 373 tahun 2002
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi dan
Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota yakni pada pasal 2 dijelaskan tugas
pokok dan fungsinya sebagai berikut : “ Kantor Wilayah Departemen Agama
Provinsi mempunyai tugas melaksanakan tugas pokok dan fungsi Departemen Agama
dalam wilayah Propinsi berdasarkan kebijakan Menteri Agama dan peraturan
perundang-undangan.”
Adapun
tugas dan fungsi bidang yang mengurusi pendidikan adalah Mapenda sebagaimana disebut
dalam pasal 31 yang menjelaskan sebagai berikut : “Bidang Madrasah dan
Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum mempunyai tugas melaksanakan pelayanan
dan bimbingan di Bidang penyelenggaraan pendidikan pada madrasah dan pendidikan
agama Islam pada sekolah umum dan serta sekolah luar biasa”. Pada pasal 32
menjelaskan fungsi Bidang Mapenda, pada pasal 33 seksi-seksi yang terdapat
dalam Bidang Madrasah dan Pendidikan Agama Islam pada sekolah Umum. Pada pasal
34 penjelasan tugas dari seksi-seksi sebagaimana dimaksud pada pasal 33 diatas.
Pada pasal 35 Tugas Pekapontren dan Penamas. Pada pasal 36 penjelasan tugas
dari Pekapontren dan Penamas tersebut. Selanjutnya pada pasal 37-50 tentang
pembagian seksi dan tugas dari bidang Pekapontren dan Penamas
Strategi Peningkatan mutu melalui
Jalur Kultural
Dalam Strategi
peningkatan mutu melalui jalur kultural, ada beberapa pendekatan yang bisa
digunakan, yakni dengan meyehatkan mesin, mengurangi beban dan
terakhir merubah beban menjadi energy.
a.
Menyehatkan
mesin
Mesin dalam sebuah organisasi pendidikan dapat berwujud budaya organisasi
dan proses organisasi. Madrasah yang sehat adalah madrasah yang memiliki budaya
organisasi yang positif dan proses organisasi yang efektif. Dalam mewujudkan
budaya madrasah yang baru, diperlukan konsulidasi ideal berupa reaktualisasi
doktrin-doktrin agama yang selama ini mengalami pendakalan, pembelokan dan
penyempitan makna, konsep tentang ikhlas, jihad, dan amal shaleh perlu di
reaktualisasikan maknanya dan dijadikan core values dalam penyelengaraan
pendidikan madrasah. Dengan landasan nilai-nilai fundamental yang kokoh, akan
menjadikan madrasah memiliki modal sosial ( Social Capital ) yang sangat
berharga dalam rangka membangun rasa saling percaya (trust), kasih sayang,
keadilan, komitmen dedikasi, kesungguhan, kerja keras, persaudaraan dan
persatuan. Dengan social capital yanng baik, akan memunculkan semangat
berprestasi yang tinggi, terhindar dari konflik yang sering kali menjadi “hama”
bagi perkembangan madrasah. Lembaga pendidikan madrasah juga perlu tampil
dengan nama, semangat, semboyan dan performen baru. Misalnya dengan nama baru
seperti MI Putra Harapan, MTs Tunas Bangsa, MA Insan Mulia, dan lain
sebagainnya.
b. Kurangi Beban
Madrasah memang sarat beban, apabila
dilihat dari missi, muatan kurikulum, dan beban-beban sosial, budaya dan
politik penyelenggarakan kurikulum madrasah perlu diformat sedemikian rupa agar
tidak terpaku pada formalitas yang padat jam tetapi tidak padat misi dan isi.
Orientasi pendidikan tidak lagi pada “Having” tetapi “Being”, bukan “Schooling”
tetapi “Learning” dan bukan “ Transfer of knowledge” tetapi membangun jiwa
melalui “transfer of Values” lewat keteladanan. Metode belajar yang mengarah
pada “Quantum Learning” dan “Study Fun” dan sebagainya perlu dikritisi. Budaya
belajar Bangsa Indonesia tidak harus mencontoh model Eropa seperti bermain
sambil belajar. Guru hanya sebagai fasilitator, menekankan proses dari pada
hasil, mengutamakan alat belajar dan lain sebagainya. Budaya Belajar Bangsa
Indonesia banyak berhasil membesarkan orang justru yang mengembangkan sikap
kesungguhan, prihatin (tirakat), Ihklas (nrimo, qonaah), tekun
dan sabar, siswa madrasah harus di didik menjadi generasi yang tangguh memiliki
jiwa pejuang, seperti sikap yang tekun, ulet, sabar, tahan uji, konsisten dan
pekerja keras. Multiple Intelligence (Intelectual, emotional,dan spiritual
quotient) siswa dapat dikembangkan secara maksimal justru melalui pergumulan
yang keras, bukan sambil bermain atau dalam suasana fun semata.
c. Merubah Beban Menjadi Energi
Pengelola Madrasah baik pimpinan
maupun gurunya haruslah menjadi orang yang cerdik, lincah dan kreatif, pemimpin
madrasah tidak sepatutnya hanya berperan sebagai Administrator, “Pilot” atau
“Masinis” yang hanya menjalankan tugas sesuai dengan ketentuan, melainkan harus
diibaratkan sebagi “Sopir”, “Pendaki” atau “ Entrepreneur” yang senantiasa berupaya menciptakan nilai
tambah dengan cara mendayagunakan kekuatan untuk menutupi kelemahan, mencari
dan memanfaatkan peluang yang ada, dan merubah ancaman menjadi tantangan
(Analisis Swot). Keterbatasan sumber daya (manusia, material, finansial, organisasi,
teknologi dan informasi) yang dimiliki madrasah bagi pimpinan yang berjiwa
entrepreneur dan pendaki (climber) justru menjadi cambuk, lahan perjuangan
(jihad) dan amal shaleh. Ibaratnya Beban berat disebuah mobil dapat dirubah
menjadi energi apabila sopirnya cerdas dalam memilih jalan yang menurun.
Intinya cara merubah beban menjadi energi adalah dengan cara berfikir dan berjiwa
besar, positif, kreatif dan tidak kenal menyerah. Memang salah satu
karakteristik madrasah adalah berkembang secara evolutif, dimulai dengan sebuah
pengajian di musholla/masjid kemudian menjadi madrasah diniah dan akhirnya
menjadi madrasah. Proses evolusi madrasah selama ini ada yang berlangsung
dengan baik dan ada yang jalan di tempat, tetapi sangat yang jarang yang mati.
semua itu tergantung pada orang-orang
yang ada di dalamnya. (Dr.Tobroni; 4;08 Percepatan Pendidikan).
Oleh: Hariyono, M.Si
Tidak ada komentar:
Posting Komentar